Owaranai Suffering (Chapter 5) A GureShin Fanfiction




“Sebelum kau menembakku dengan pistolmu itu, aku hanya ingin mengatakan satu hal padamu, nak...”

“...Kau dan ibumu adalah inang virus vampir, sebuah senjata rahasia yang telah dikembangkan Mikado no Oni untuk menghancurkan kerajaan musuh. Aku hanya ingin mengatakan ini sebelum kematianku. Bergantung pada pilihanmu, akhir dunia ada di tanganmu.”

.......


Ichinose Sakae, dengan kaki kirinya yang tidak bisa berdiri tegak harus berusaha melangkah cepat untuk keluar dari tempat di mana ia hendak melakukan perundingan dengan Hiiragi Tenri. Seorang anak muda berusia 13 tahun memapah tubuhnya dari samping, membantunya berjalan. Ia adalah Hiiragi Shinya, bocah yang sudah menembaknya di kaki beberapa waktu yang lalu.


Darah yang merembes melalui serat kain celana yang dipakai Sakae terus menyebar luas, cairan merah itu keluar terlalu banyak bahkan sudah melemahkan kesadaran Sakae. Tetapi ada yang lebih membuatnya khawatir daripada ini semua. Si malaikat kecil Hiiragi, air mata mengalir deras membanjiri pipinya.

“Kenapa?” Tanya Sakae kemudian.

Ayah satu anak itu hanya tidak mengerti mengapa Shinya menangis. Padahal ia bisa saja langsung membunuh Sakae setelah pria itu mengatakan hal yang kejam padanya, ia bisa saja meninggalkan Sakae di tempat dan membiarkannya ditangkap prajurit Mikado no Oni, ia bisa saja tidak mempercayai perkataan Sakae. Tetapi lihatlah, saat ini Shinya malah menuntunnya melarikan diri sambil terus menangis.

Mendengar pertanyaan Sakae, Shinya mendongak menatap Sakae dengan muka sembab.

“Tatapan anda tuan... tiba-tiba saja saya teringat dengan ibu. Tatapan anda sama seperti ibu saya malam itu, sebelum ia ‘digunakan’ oleh pihak kerajaan. Saya hanya tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama, maaf.”

“Kau mempercayaiku, nak?”

“Sudah tidak ada alasan untuk saya mengharapkan sebuah kebenaran dan kepercayaan, tetapi anda berhutang banyak sekali penjelasan kepada saya.”

“.........”

Pada akhirnya Sakae hanya bisa terdiam. Oh ia baru ingat kalau ada satu lagi kemungkinan yang terjadi ketika ia mengatakan kebenaran kepada sang inang virus vampir. Apabila anak itu ingin menyelamatkan dunia ini dengan tidak terbawa egonya, maka Sakae harus membimbingnya dan harus terus hidup. Sungguh, ia tidak menyesali apa yang sudah terjadi hari ini.

Di sampingnya, Shinya menyeka air mata yang mengalir di pipinya dengan punggung tangan. “Sebelum itu, kita harus mencari jalan keluar terlebih dahulu. Pasukan kerajaan akan tiba sebentar lagi.”

.......

Sudah hampir setengah jam ketika Sakae dan Shinya berhasil melarikan diri dari tempat pertemuan dan saat ini mereka sedang menyusuri hutan untuk mencari jalan keluar.

“Bertahanlah sedikit lagi, tuan Ichinose.”

Kondisi Sakae bertambah buruk, kesadarannya sudah berada di ambang batas karena darah yang keluar sudah sangat banyak. Shinya mempercepat langkahnya, air mata kembali berkumpul di pelupuk matanya.

Andaikan ada seseorang yang menolong mereka berdua...

Tidak jauh dari tempat mereka berjalan, Shinya melihat secercah cahaya yang bersinar di antara gelapnya hutan. Suara seseorang yang tak asing di telinga Shinya terdengar samar-samar. Sesosok bayangan hitam muncul kemudian, menampakkan seorang pria dewasa dengan sebuah senter dalam genggamannya. Shinya mengamati pria itu, mencoba mengenalinya tanpa menurunkan rasa waspadanya.

Ketika pria itu semakin dekat...

“Shinya?!”

Liquid bening itu kembali menganak sungai.

“Profesor Ferid...!”

Di dunia yang kejam ini, bolehkah Shinya menyandarkan sebuah harapan?


.

.

Owaranai Suffering
(Chapter 5, New Home)

Karakter OnS (c) Kagami Takaya, Cerita (c) NysAeri

Shounen-Ai, Drama, Action, Sci-Fi (maybe)

Warning:
Cerita murni dari imajinasi saya dengan beberapa hasil imitasi dan EYD sebisanya, romansa Boys Love dengan bumbu straight di dalamnya, Ke-OOC-an mungkin dialami oleh para karakter (saya sudah peringatkan loh yaa).
.

.



Satu hari berlalu begitu cepat bagi Guren, tetapi mungkin tidak bagi Shinya.

Sesuai janjinya pada penjaga sel tahanan yang menangani interogasi Shinya, Guren kembali keesokan harinya. Setelah menyusuri koridor yang tidak terlalu memakan waktu, akhirnya pria itu sampai di tempat Shinya ditahan untuk sementara.

Para prajurit yang menjaga penjara tersebut berbaris rapi di sepanjang koridor, dan ada beberapa yang mengawal Guren di belakangnya.

Seorang pria tua yang terlihat ahli dalam hal menginterogasi menyambut kedatangan tuan muda Ichinose dengan senyumannya yang berwibawa. Pria itu mempersilahkan Guren duduk menghadap sebuah ruangan kecil dengan kaca transparan sebagai pemisah dari ruangan lainnya, khas tempat penginterogasian.

“Bagaimana, sensei?”

Tanpa kata-kata yang lebih spesifik, pria tua itu sudah paham kalau Guren bermaksud menanyakan hasil interogasinya. Rupanya pemuda ini tidak suka berbasa-basi.

“Maaf saya harus mengatakan ini, tuan, tapi ini percuma....”

Kakek dengan rambut uban yang sudah menipis di bagian tengahnya itu tersenyum lemah.

“Anak itu sudah dilatih untuk tutup mulut apa pun yang terjadi, dan kami semaksimal mungkin menghindari untuk melukainya berdasarkan perintah anda, tetapi jika anda memerintahkan kami untuk mencabut satu persatu kukunya mungkin kami bisa...”

“Jadi apa yang sudah anda dapatkan?”

“Tidak banyak informasi. Dia hanya mengatakan kalau ia menjadi anak angkat dari Hiiragi Tenri sejak ibunya meninggal dunia 13 tahun yang lalu, kemudian dia bilang meskipun dirinya adalah Hiiragi, tetapi ia tidak memihak pada kerajaan itu dan malah ingin menyelamatkan nona Mahiru bersama anda, anak itu menginginkan anda untuk bekerja sama dengannya.”

“Apa sensei menanyakan alasan mengapa ia tidak memihak Hiiragi dan ingin bekerja sama denganku?”

Iie, anak itu hanya akan berbicara jika anda menaruh kepercayaan padanya. Hanya saja tuan, selama proses interogasi, ia sempat bilang untuk berhati-hati dengan tubuhnya demi keselamatan saya.”

“Apa dia membawa senjata berbahaya, atau ada yang aneh dengan tubuhnya?”

“...Tidak ada.”

“..........”

 “Itu saja yang saya peroleh sejauh ini, dia benar-benar pandai menutupinya.”

“Seperti yang bisa diharapkan dari seorang Hiiragi.”

Guren bangkit dari posisi duduknya. Lewat kaca transparan yang ada di hadapannya, ia melirik sekilas sang tawanan yang ada di dalam ruang interogasi sebelum akhirnya memfokuskan diri lagi pada si kakek untuk memberi intruksi.

“Cukup untuk interogasinya, berikan kunci borgolnya. Aku ingin membawanya pulang.”

“Baiklah.”

Lelaki itu menoleh sekali lagi pada kakek tua setelah kunci yang dimintanya berada di atas tangan.

“Terima kasih.”

“Suatu kehormatan bagi saya, tuan.” Si kakek membungkuk memberi hormat.

Sang tuan muda Ichinose itu pun melangkah memasuki ruangan di mana Shinya berada, melihat keadaannya.

Penampilan pemuda dengan kulit seperti mayat itu tak jauh berbeda ketika mereka berdua masuk ke penjara ini dengan mantel cokelat yang tetap basah akibat siraman air yang mungkin dilakukan pada saat interogasi. Hanya saja wajahnya tampak lebih pucat dan matanya yang terlihat sayu, antara mengantuk dan kelelahan.

Ada rasa iba yang datang ketika Guren melihat Shinya. Ia tahu kalau anak itu baru saja pulih dari sakit beberapa waktu yang lalu tetapi dia membawanya ke tempat ini. Apa boleh buat, Guren harus memprioritaskan misinya. Lagipula, dengan dilakukannya interogasi ini, siapa tahu ia bisa mengubah sudut pandangnya terhadap Shinya. Ia bisa menyimpulkan apakah anak ini berbahaya atau tidak.

Tak dipungkiri, sebenarnya penginterogasian dengan cara menyiksa psikis lebih kejam daripada melibatkan fisik karena jiwa Shinya harus menahan siksaan yang bisa saja berakibat bukan hanya pada emosinya tetapi juga tubuhnya sendiri sehingga lambat laun ia akan menyerah dan mengatakan segalanya. Guren pikir jenis interogasi ini akan berhasil pada seorang Hiiragi macam Shinya, tetapi ternyata ia salah. Pemuda itu tetap menjaga mulutnya.

Guren berdiri di samping kursi Shinya, melepaskan satu persatu rantai yang membatasi pergerakan si putih salju.

Shinya dengan sisa tenaga yang tersisa mencoba berdiri menghadapi Guren yang kini berada dalam jangkauannya. Meskipun tubuh itu terlihat sangat lemah dan iris birunya yang sedikit meredup, tetapi ada ekspresi kesal yang tercetak di sana. Shinya menatap Guren dengan mata sayunya.

“Hiiragi telah melatihku sejak kecil untuk hal-hal seperti ini...”

Suara yang keluar sangat kecil, bahkan mungkin Shinya sudah mengerahkan seluruh tenaganya agar bisa didengar Guren.

“Aku sudah mengatakannya, bukan? Kalau aku bisa membicarakannya bersama Guren, hanya dengan memberikan kepercayaan padaku?”

Satu langkah, dan telapak tangan Shinya meraih dada Guren.

“Aku pikir aku sudah mendapat kepercayaan itu ketika ditolong kemarin....”

“Mengapa kau sangat ingin mendapat kepercayaan dariku?”

Kedua alis saling bertaut linglung, raut kesal Shinya sudah hilang tergantikan dengan ekspresi khas anak kucing yang membutuhkan beberapa bantal dan selimut hangat.

“Karena...”

Lelah.

Mengantuk.

Iris langit itu terlalu mengantuk untuk sekadar bertahan sedikit lebih lama lagi.

“Hanya Guren...”

Kata-kata yang bahkan tidak sempat terselesaikan. Shinya membiarkan kalimatnya menggantung begitu saja karena saat ini ia sudah jatuh terlelap ke dalam pelukan Guren.

Si empunya badan yang dibebani Shinya hanya bisa menghela napas. Benar-benar merepotkan, pikirnya.

Tapi toh pada akhirnya Guren membenarkan posisi Shinya dalam pelukannya, menggendong pemuda itu ala bridal. Si putih salju tersenyum dalam tidurnya karena berhasil menemukan tempat hangat, wajahnya bersembunyi di dada Guren.

Salah satu prajurit yang melihat tuannya melakukan segalanya seorang diri pun menawarkan bantuan.

“Ada yang bisa dibantu, tuan?”

“Ah, aku sepertinya tidak akan menyetir. Tolong siapkan supir untuk mengantarku pulang, sebelumnya aku juga ingin membeli beberapa pakaian.”

Ha’i.”

..............

Sayuri dan Shigure dibuat terkejut begitu melihat tuan kesayangan mereka datang dengan membawa Shinya yang tertidur dalam gendongannya.

“Ya ampun, apa yang terjadi dengan Shinya-sama?”

Wajar saja kalau kedua pelayan itu khawatir. Karena saat ini wajah Shinya sangat pucat dengan garis hitam di bawah kelopak matanya yang terpejam, rambutnya masih basah, sedangkan pakaiannya... oh sudah berganti menjadi kemeja putih kebesaran dengan celana bahan berwarna hitam.

“Tenanglah kalian berdua, dia hanya tertidur karena lelah.”

Sayuri dan Shigure menghembuskan napas lega mendengarnya.

“Apa kalian sudah menyiapkan kamar untuk Shinya?”

Ha’i, semuanya sudah siap, Guren-sama.

“Kalau begitu aku akan membawa anak ini masuk.”

Dua wanita tersebut memberikan jalan untuk Guren lewat. Sementara sang tuan muda membawa Shinya ke kamar, Sayuri hanya bisa menatap dua orang itu dari kejauhan.

“Irinya... Aku juga ingin digendong Guren-sama.”

Shigure yang berdiri di samping Sayuri menjitak kepala gadis itu pelan, wajahnya stoik seperti biasa.

Ittai.

“Kau iri dengan laki-laki?”

“Mau laki-laki atau perempuan, kalau bisa sedekat itu dengan tuan Guren tetap saja aku merasa iri...”

“Berhentilah membaca doujin.

“A-apaan sih, Yuki-chan? S-siapa juga yang membaca itu!”

Tak lama kemudian Guren muncul dari balik pintu, ia berjalan menuju ruang tengah lalu dihempaskan tubuhnya sendiri pada sofa panjang yang ada di sana. Kedua pelayannya membuntuti dengan patuh.

Guren melirik jam yang menggantung di dinding ruangan tersebut.

Pukul 6. 50 p.m., sebentar lagi waktunya makan malam.

“Sayuri.”

“Ya, Guren-sama?”

“Siapkan makan malam, kari untukku dan makanan apa saja yang sekiranya bisa dimakan untuk Shinya.”

Hm, baiklah Guren-sama.” Sayuri memberikan gestur hormat sebelum akhirnya melesat pergi menuju dapur.

Sementara itu Shigure,

“Shigure, tolong buatkan teh hangat untukku.”

“dimengerti, tuan.”

.
.

Shigure bersimpuh di depan meja kecil yang ada di ruang tamu itu, menaruh teh yang dipinta oleh Guren. Gadis itu menampilkan senyuman sekilas pada tuannya, lalu berdiri menghadap Guren.

“Guren-sama.”

“Ya?”

Lelaki bersurai hitam memberikan perhatian pada Shigure. Ini sangat jarang sekali puteri dari keluarga Yukimi itu memulai pembicaraan, Shigure adalah gadis yang sangat pendiam, bertolak belakang dengan pelayan yang satunya yaitu Sayuri, ia sangat cerewet. Mereka berdua adalah pelayan sekaligus teman yang saling melengkapi untuk Guren. Jikapun Shigure yang memulai percakapan duluan, itu berarti ada sesuatu yang begitu penting untuk disampaikan.

“Saya baru saja mendapat pesan dari Mikado no Oni, bahwa tuan Kureto akan mendatangi kediaman anda.”

Nah, kan?

“Bilang kalau aku menolaknya. Jika ia mau, aku bisa menjadwal ulang waktu dan tempat pertemuannya, asalkan jangan di sini.”

“Tapi Guren-sama, beliau akan datang malam ini.”

“Apa? Seenaknya sekali sih si Kureto itu?!!”

Guren mengacak rambutnya kesal.

Bertemu dengan Kureto adalah pilihan terakhir yang ingin dilakukannya. Saat ini ia ingin mendinginkan kepala atas semua yang terjadi belakangan ini, tentang misteri Shinya dan undangan perang Sekte Hyakuya. Kerajaan yang satu itu kapan saja bisa mengangkat senjata mereka untuk menyerang Mikado no Tsuki dan menghancurkan Jepang. Dan jika ditambah Mikado no Oni, maka semuanya akan menjadi lebih rumit.

Guren baru saja meletakkan cangkir tehnya di atas meja, suara bel dari pintu masuk mengusik ketenangannya.

Shigure menatap sang tuan muda menanti perintah.

“Itu Kureto-sama beserta pengawalnya, apa boleh membiarkannya masuk?”

Yah... melarang Kureto datang juga bukan pilihan yang bagus.

“Biarkan dia masuk.”

“Baiklah.”

Setelah kepergian Shigure, tak berapa lama kemudian Kureto muncul dari balik pintu ruang tengah dengan senyuman yang menurut Guren sangat menyebalkan.

Dari sekian banyak pengawal yang mengantar putera Hiiragi Tenri tersebut menuju kediaman Guren, hanya Sangu Aoi, pelayan setia Kureto yang ikut masuk menemaninya. Benar-benar pengikut yang patuh.

“Yo, Guren.”

“Apa aku pernah mengizinkan pihak Mikado no Oni untuk bertamu di kediamanku?”

“Cuek seperti biasanya, ya? Boleh aku duduk?”

“Terserah.”

Guren memang tidak langsung menawarkan pria jangkung itu untuk duduk, ia pikir membiarkannya masuk saja sudah sangat membuat Guren malas. Pemuda Ichinose benar-benar sedang berada dalam mood buruk karena lelaki di depannya ini.

Kureto tanpa sungkan duduk di salah satu sofa yang terletak berseberangan dengan sofa yang diduduki Guren, meja kecil menjadi pemisah di antara keduanya.

Shigure sebagai pelayan sang tuan rumah pun segera melesat ke dapur untuk menyajikan beberapa cangkir teh dan camilan untuk tamu yang datang tersebut, yah meskipun itu adalah tamu yang tidak diundang.

Guren tak pernah ragu untuk menampilkan raut tidak sukanya kepada Kureto. Lantas pria itu yang duluan memulai percakapan pada akhirnya.

“Belakangan ini kau sering sekali ya merecoki urusanku, apa sebegitu menariknya kah kehidupanku sampai kau mau merepotkan diri sebagai pengganggu?”

“Hahahaha, seharusnya itu menjadi kata-kataku.”

Kureto yang ada di seberang seperti biasa menggemakan tawa dengan penuh rasa percaya diri. Pemuda itu bersandar pada bahu sofa, mencari posisi nyaman.

“Kau yang tidak tahu apa-apa secara tiba-tiba memancing perang dengan Sekte Hyakuya, lalu bertemu dengan Mahiru dan seenaknya menjadikan Shinya sebagai sanderamu. Bukankah kau yang lebih dahulu menjadi pengganggu, Guren?”

“Tentu itu tidak akan terjadi jika kalian mau membuka mulut untukku.”

Nada sinis mendominasi perkataan Guren kepada Kureto. Sejujurnya ia sudah muak diperlakukan sebagai orang yang buta akan keadaan. Secerdas apa pun ia mencoba memikirkannya, tetap saja tidak ada klu yang ditemukannya kalau tidak ada yang mau membuka mulut sama sekali. Sejarah kerajaan di masa lalu pun seolah terkubur begitu saja semenjak kepergian ayahnya. Dan Guren tidak mau terus-terusan menjadi orang yang dibodohi.

“Kau tahu, ini bukan hanya masalah pribadi tetapi menyangkut kerajaan dan juga penduduk yang ada di Jepang. Aku tidak berniat untuk memulai perang dengan Sekte Hyakuya maupun Mikado no Oni, waktu itu aku hanya ingin mengetahui apa yang terjadi dengan ayahku lima tahun yang lalu. Tetapi tak ku sangka dua kerajaan malah sudah bersiap untuk memulai perang baru dengan melibatkan keluargamu sendiri... aku rasa, aku hanya dijadikan sebagai umpan oleh kalian berdua.”

Setidaknya itu yang disimpulkan oleh Guren.

Pemuda itu menjeda kalimatnya untuk mengambil napas, udara yang ada di sekitarnya tiba-tiba menjadi menyesakkan ketika ia harus mengingat sang ayah.

“Kalau aku tidak bertindak, lalu apa yang akan terjadi dengan kerajaanku, apa yang akan terjadi dengan seluruh penduduk Jepang? Yang aku tahu, peperangan yang dahulu kalian lakukan sudah menghancurkan sebagian umat manusia. Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi lagi.”

Kali ini Kureto menatap serius Guren dengan iris tembaganya.

“Kau cukup pandai menyimpulkan dengan informasi yang sangat sedikit itu. Yah, Mikado no Oni hanya bisa mengucapkan kata maaf karena membiarkan hal buruk terjadi pada ayahmu.”

“Apa kata maaf saja cukup untuk menebus perbuatan kalian?”

“Tapi apa kau pernah berpikir, Guren? Kalau ayahmu sendirilah yang menginginkan hal tersebut terjadi, ayahmu sudah merencanakan kudeta pada kerajaan jauh-jauh hari. Kalau dia tidak melakukannya, mungkin kau pun masih menjadi bagian dari Mikado no Oni saat ini.”

“........”

Guren hanya terdiam di tempatnya, mencoba mencerna setiap perkataan Kureto.

“Maka dari itu aku datang kemari, ini berkaitan dengan Ichinose Sakae. Aku ingin mengajakmu bergabung untuk mencari salah satu orang dari Mikado no Oni yang juga menghilang pada kejadian lima tahun yang lalu.”

“Apa prioritasku untuk membantu kerajaan musuh?”

“Kau punya, makanya aku datang ke sini. Saat ini dia sedang berada di kerajaan Hyakuya, dan dia ada hubungannya dengan ayahmu. Setidaknya kau bisa menanyakan segala hal yang terjadi pada ayahmu selama lima tahun tersebut kepadanya, karena aku juga orang baru sepertimu. Usiaku hanya terpaut dua tahun di atasmu, jadi apakah pantas aku dijadikan narasumber kegalauanmu tentang ayahmu?”

“Siapa yang kau cari itu? Dan kenapa kau mencarinya sekarang?”

Kureto menampakkan seringaian lebarnya, menyadari persuasinya kepada Guren hampir berhasil. Pria itu lantas mengambil cangkir teh yang beberapa menit lalu disajikan oleh Shigure bersama dengan makanan kecil di atas meja. Menghirup aroma yang tercipta dari kepulan asap teh, kemudian Kureto menyesap cairan bening kehijauan tersebut untuk membasahi kerongkongannya yang kering akibat terlalu banyak bicara.

“Namanya Ferid Bathory, dia adalah salah satu profesor yang menjadi bagian dari kerajaan Mikado no Oni. Tetapi Ferid kabur dari istana bersamaan dengan menghilangnya Ichinose Sakae. Bukankah ini hal yang sangat memungkinkan bahwa mereka berdua saling mempunyai keterkaitan? Aku juga ingin tahu kebenarannya. Selama ini kerajaan Mikado no Oni terus mencarinya dan baru kali ini kami mendapatkan informasi yang sangat jelas. Aku memikirkan bahwa jika aku mengajakmu dalam pencarian ini, maka setidaknya aku bisa meringankan rasa bersalah kerajaan atas kejadian yang menimpa tuan Sakae.”

Tentu separuh yang dikatakan Kureto itu benar tetapi separuhnya lagi adalah kebohongan. Sangat benar jika Ferid bathory ada hubungannya dengan kasus Ichinose Sakae. Tetapi bukan hanya untuk mengetahui kebenaran dari kejadian lima tahun yang lalu tersebut, melainkan juga untuk meneruskan pengembangan Virus Vampir di kerajaan Mikado no Oni.

Ferid Bathory merupakan salah satu dari beberapa profesor yang berhasil membiakkan Virus Vampir. Sebenarnya ia ada di pihak Sekte Hyakuya sebelum akhirnya pria tersebut turut diambil oleh Mikado no Oni bersamaan dengan diculiknya inang Virus Vampir yang pertama. Lima tahun yang lalu, Ferid lari dari kerajaan tanpa sepengetahuan Mikado no Oni dan sampai sekarang ia masih menjadi buronan kerajaan. Kureto pernah mendengar desas-desus kalau Ferid yang membantu Shinya dan Ichinose Sakae melarikan diri, entah apa motif dari pria tersebut tetapi saat ini Kureto ingin mengajaknya untuk membidangi Virus Vampir lagi.

Sangat kecil kemungkinan pria itu mau bekerja sama dengan kerajaan lagi dan kelihatannya pria yang satu ini cukup berbahaya, tetapi mengingat bahwa Mikado no Oni pernah menaklukannya, maka kemungkinannya bukan nol persen.

Kureto tersadar dari pemikirannya lalu kembali memusatkan perhatiannya pada Guren. Pemuda itu tampaknya sedang mempertimbangkan sesuatu.

“Bagaimana?”

“...Kapan kau akan bergerak?”

Kureto mengembangkan senyumannya.

“Lima hari lagi. Tenang saja, kau tidak akan sendirian. Aku sudah memerintahkan Norito Goshi dan Juujou Mito untuk membantumu, kau juga boleh mengajak dua pelayanmu itu dalam misi.”

“Dan kau hanya akan duduk tenang di tempatmu?”

“Hahaha, aku punya urusanku sendiri.”

“Cih.”

“Satu lagi,”

Pemuda dengan alis unik itu mengeluarkan beberapa potong pakaian yang agak mirip dengan yang dipakainya, pakaian khas pasukan militer Mikado no Oni lengkap dengan atributnya, juga sebuah senjata berupa bayonet dengan moncong panjang warna hitam bergaris hijau.

“Ajak Shinya juga, dia turut menjadi bagian yang penting dalam misi ini. Tembakannya sangat bagus, kau tahu?”

“Kau adalah kakak yang pengertian, ya? Bahkan sampai repot-repot membawakan semua ini untuknya.”

“Tentu saja, bagaimanapun Shinya adalah bagian dari Mikado no Oni dan merupakan senjata andalan Hiiragi. Sampai mati pun ia harus berguna untuk kerajaan kami.”

“Hal itulah yang tidak kusukai dari Mikado no Oni, seenaknya mengatur takdir orang lain.”

“Orang-orang lemah seperti kalian tidak akan mengerti, ini pun demi kehidupan umat manusia. Apa? Kau juga mau protes terhadap apa yang menimpa Mahiru?”

“........”

“Itu saja yang ingin aku bicarakan, kita akan bertemu lima hari lagi. Kalau begitu terima kasih atas waktu dan jamuannya, aku permisi.”

Dengan begitu Kureto pun bangkit dari duduknya. Tanpa perlu merepotkan diri untuk membungkuk, pria itu langsung angkat kaki keluar dari kediaman Guren. Aoi sempat membungkuk pada pemuda Ichinose, baru kemudian mengikuti Kureto di belakangnya. Guren dan Shigure hanya menatap kepergian dua orang tersebut dalam diam.

Pada akhirnya malam itu juga masakan yang dibuat Sayuri tidak dimakan oleh Shinya karena anak itu terlalu sibuk menyelam di alam mimpi.

.
\(O3O)/
.


Dalam ruangan yang dipenuhi cahaya temaram itulah Ichinose Sakae duduk beralaskan tatami. Pria yang cukup berumur itu terlihat pucat, tetapi dengan tenang menuliskan sesuatu di atas kertas, sebuah surat beralamatkan kediaman Ichinose yang tidak pernah tersampaikan.

Shinya yang saat itu berusia 13 tahun berlarian menuju ruangan di mana Sakae berada, sebuah baskom dengan air hangat berada dalam genggamannya.

Senyuman manis tak pernah luntur dari wajahnya.

“Tuan Ichinose, aku membawakan air hangat untukmu.”

Baru satu bulan Shinya mengenal Ichinose Sakae, orang yang sempat menjadi musuhnya, tetapi sekarang mereka sudah sangat akrab bahkan seperti seorang ayah dan anak.

Shinya meletakkan baskom tersebut di samping tempat duduknya, lalu mengambil handuk yang sudah dicelupkan di dalamnya dan memeras kain tersebut. Tangan kecil itu bergerak mengusap kaki kiri Sakae, anggota tubuh yang terluka akibat ulahnya sendiri.

Meskipun peluru yang sempat bersarang di dalamnya sudah diangkat oleh Ferid, tetapi bekas dari tembakan Shinya tidak bisa disembuhkan karena memang mereka tidak mempunyai alat yang memadai untuk benar-benar menyembuhkan luka tersebut. Akibatnya, kaki kiri tuan Ichinose cacat permanen. Shinya masih ingat ketika ia menangis kencang begitu mengetahui berita tersebut. Anak itu merutuki kebodohannya atas apa yang menimpa Sakae, ia sungguh menyesal.

“Apa masih sakit?” Sambil terus menggerakkan tangannya yang memegang handuk, Shinya kecil mendongak menatap Sakae.

Yang ditatap menarik bibirnya ke atas, tersenyum lembut. Sakae sudah dari tadi menghentikan kegiatannya menulis surat dan beralih mengelus surai putih itu penuh kasih sayang. Dia menggeleng atas pertanyaan Shinya.

“Tidak, ini sudah sembuh.”

“Tapi aku sudah...”

“Sst... bukankah kita sudah berjanji untuk tidak membicarakannya lagi?”

“Tuan Ichinose...”

Mata Shinya berkaca-kaca lagi. Semenjak Sakae dan Ferid bersamanya, perlahan-lahan Shinya mulai menunjukkan sifat aslinya yang biasa ditunjukkan kepada sang ibu. Kalau dulu ia adalah anak yang selalu murung dan dingin setelah kepergian ibunya, kini di hadapan Sakae dan Ferid, Shinya menjadi anak yang penyayang dan ceria, tetapi tak sungkan untuk menangis. Sakae benar-benar mengubah hidup Shinya.

Anak itu sendiri yang memang tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ayah pun merasa bersyukur telah bertemu Ichinose Sakae dan Ferid Bathory, mereka layaknya sosok ayah idaman. Sakae tidak pernah menaruh dendam pada Shinya, ia malah memperlakukan Shinya lembut seperti anaknya sendiri. Betapa beruntung orang yang menjadi anak kandungnya. Begitupun Ferid, pria itu selalu memastikan keadaan Shinya dan yang paling berjasa dalam mengurusi keperluan mereka bertiga.

Untuk mengalihkan perasaan bersalahnya, Shinya memusatkan perhatiannya pada kertas yang tergeletak di atas meja. Merasa penasaran, akhirnya dia melontarkan pertanyaan juga.

“Apa yang Tuan Ichinose tulis?”

“Sebuah surat.”

“Sebuah surat?”

Shinya mengulang kalimat Sakae, ia pun menghentikan kegiatannya membasuh kaki si pria tua karena dirasanya cukup. Baskom diletakkan di atas meja.

“Yah, aku mempunyai anak bernama Ichinose Guren. Dia seumuran denganmu, mungkin lebih tua beberapa bulan.”

“Ichinose Guren? Rasanya aku pernah mendengar nama itu...”

“Anakku cukup dekat dengan saudarimu yang bernama Mahiru.”

“Hmm...”

Sakae tersenyum ketika mengingat anak satu-satunya, Guren. Sifat puteranya itu sangat bertolak belakang dengan Shinya yang ceria. Dia adalah anak yang pemberani, sedikit jutek tetapi sebenarnya sangat baik dan perhatian. Kalau ibu Guren masih hidup, maka ia akan mengatakan bahwa Guren itu sosok yang keren. Bahkan anak gadis yang mengenal Guren pun banyak yang terpesona kepadanya. Tidak perlu ditanya lagi seberapa sayang Sakae terhadap puteranya tersebut.

Tangan besar itu meraba surat yang masih belum selesai ditulis.

“Ketika aku merindukannya, aku akan menuliskan surat-surat ini walaupun aku belum pernah mengirimnya.”

“Maaf, tuan Ichinose jadi terpisah dengan keluarga gara-gara aku.”

“Berapa kali aku harus mengatakannya, Shinya? Kau sama sekali tidak bersalah. Dan aku sudah siap dengan konsekuensi yang dihadapi karena membelot dari Hiiragi.”

“Apa anda ingin bertemu Guren?”

“Mengenai Guren, untuk saat ini sebaiknya memang kami tidak perlu bertemu dahulu. Aku ingin dia mandiri dan melihatnya sukses sebagai penerus Ichinose, aku percaya dia juga bisa mengubah takdir yang saat ini membebanimu.”

“Sepertinya anda sangat menyayangi Guren...”

“Tentu saja, aku adalah ayahnya.”

Ruangan yang ditempati dua orang itu sempat hening sesaat. Sakae yang terlihat membaca kembali hasil tulisannya dan Shinya yang diam-diam melirik isi surat di tangan ketua klan Ichinose.

“.....Aku ingin bertemu Guren.” Shinya menggumam.

“Eh?”

Iris langit musim panas berbinar cerah menatap pria di depannya dengan sungguh-sungguh.

“Jika anda percaya kalau dia bisa mengubah takdirku, maka aku pun percaya. Tuan Ichinose, katakan di mana aku bisa menemuinya? Aku berjanji akan membawa Guren sebelum kematianku. Untuk Guren, maka aku tidak akan takut lagi berhadapan dengan matahari, aku akan selalu bersamanya sampai kalian bisa bertemu kembali, anda bahkan bisa menunjukkan surat-surat yang anda tulis itu padanya.”

Janji itu tiba-tiba saja terlontar dari bibir tipis Shinya. Tetapi ada tekad yang menyala dari sorot mata bocah berusia tak lebih dari 13 tahun itu.

Bagi Shinya, tidak ada hal lain yang mampu ia lakukan untuk menebus kesalahannya kepada Ichinose Sakae. Maka ketika pria itu berbicara tentang anak kesayangannya, Shinya pun ingin setidaknya mempertemukan ayah dan anak itu selama sisa hidupnya.

Ichinose Sakae lantas tertawa mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Shinya. Sakae tahu anak ini tidak main-main dengan apa yang telah diucapkannya, ia bahkan memikirkan tentang kematiannya. Dan Sakae tidak tahu lagi harus bereaksi seperti apa karenanya, perasaannya menjadi campur aduk antara senang, sedih, lucu, dan prihatin. Maka ia pun hanya bisa tertawa.

“Hahaha, kata-katamu itu sudah seperti orang yang ingin meminang anakku untuk dijadikan pendamping hidup. Guren itu laki-laki, lho.”

Shinya merengut.

“Kalau itu aku juga tahu.”

“Tapi aku juga percaya, jika kalian bertemu, Guren pun pasti akan melindungimu. Dia adalah anak yang baik.” Sakae kembali mengelus surai putih itu lembut.

.
.


Pagi harinya Shinya terbangun dari tidur panjang. Mimpi dari masa lalu tiba-tiba datang menghampirinya, lalu dengan seenaknya berakhir begitu saja.

Ia sempat kebingungan karena ruangan yang ditempatinya terasa asing, sebuah kamar yang cukup luas dengan kasur empuk yang nyaman. Ketika matanya beredar menyusuri setiap sudut tempat itu, iris birunya jatuh pada bungkusan obat-obatan yang tergeletak di atas nakas samping tempat tidurnya.

Shinya meraih salah satu bungkusan yang bertuliskan namanya tersebut di tangan, ternyata beberapa tablet pereda nyeri dan demam. Ia pun menaruh kembali obat-obatan itu ke tempatnya semula ketika suara ketukan pintu terdengar dari luar.

Seorang wanita cantik berambut brunette muncul kemudian, membawa segelas air putih.

Dia adalah Hanayori Sayuri, salah satu pelayan Guren.

“Ah, syukurlah Shinya-sama sudah bangun. Saya mengambilkan air untuk minum obat, tadi kelupaan.”

Dengan senyuman manis, gadis itu mendekat menghampiri tempat tidur Shinya lalu meletakkan gelas bening di atas nakas. Shinya memperhatikan setiap pergerakan Sayuri dalam diam. Penglihatannya agak samar akibat baru bangun tidur dan tidak banyak akses cahaya untuk tempat ini, gorden jendela pun masih tertutup rapat.

“Tadi pagi rumah sakit yang menangani anda memberikan obat ini. Ah, seorang perawat bernama Ashera-san menyuruh anda untuk menghabiskan semua pil. Tapi mungkin sebaiknya anda mandi dan sarapan dulu.”

“Terima kasih, Hanayori-san.” Shinya tersenyum dalam cahaya yang minim itu.

Sayuri melihatnya, senyuman tulus sang tawanan dari Hiiragi.

“Anda cukup memanggil saya dengan Sayuri saja. Ah, ya!

Dengan salah tingkah, gadis itu berjalan menjauhi kasur Shinya menuju jendela besar yang menghubungkan kamar tersebut dengan taman belakang kediaman Ichinose.

“Saya lupa menarik gordennya, anda pasti kesulitan melihat di tempat yang gelap seperti ini.”

Gadis brunette menyibak gorden merah yang sedari tadi menghalangi cahaya matahari masuk.

Begitu terbuka, sinar matahari langsung menyebar ke penjuru ruangan. Meskipun tidak sekuat pancaran langsung, tetapi sengatan di tengkuknya masih bisa terasa. Membuat Shinya tersadar pada kenyataan, bahwa zona nyamannya sudah berakhir mulai detik itu dan ia harus memulai langkah pertamanya untuk maju ke medan pertarungan sebenarnya.

Mengusap belakang tengkuknya sebentar, iris birunya berusaha menetralkan cahaya yang masuk ke dalam matanya. Semuanya jadi terlihat lebih berwarna dan terang.

“Guren mana?” tanya Shinya kemudian.

“Guren-sama ada di taman belakang, sedang membaca laporan.”

Sayuri menengok ke luar, tepatnya pada taman di mana Guren tengah menghabiskan waktu dengan membaca laporan sambil ngopi santai. Gadis itu tersenyum melihat tuannya yang sedang menampakkan raut muka serius.

Lantas Shinya yang semula duduk di atas ranjang pun bangkit, berjalan mendekati Sayuri dan berdiri di sampingnya, ikut memandang keluar kemudian berganti menatap si gadis dengan senyuman lima jari.

“Mau ke tempat Guren?”

“Shinya-sama?”

“Ayo kita sarapan di sana.”

“E-eh maksud anda sarapan di taman?”

Uhm!”

“Tapi Guren-sama biasanya tidak mau diganggu kalau di taman...”

“Bukankah Sayuri ingin melihat Guren dari dekat? Jadi kenapa harus sungkan, aku akan bertanggung jawab kalau dia marah.”

Sayuri menatap Shinya dengan mata yang berbinar, kapan lagi ia bisa menghabiskan waktu bersama Guren di taman? Sejak dulu tuannya itu tidak pernah mau ditemani ketika di taman, dan taman seolah jadi tempat khusus untuk menyendiri semenjak tuan Ichinose menghilang lima tahun yang lalu.

Sayuri berpikir sejenak, apa tidak masalah, ya?

Dan keputusan akhirnya, “Baiklah!”

“Sepertinya kita akan akrab. Yosh, kalau begitu aku mau mandi dulu.”

“A-apa menu yang Shinya-sama inginkan?”

“Roti isi madu sepertinya enak?”

“Baiklah.”

Sayuri segera melesat menuju dapur dengan perasaan yang bahagia, glitter dan bunga imajiner beterbangan di sekeliling gadis tersebut.

Sementara itu Shinya memandang keluar jendela, sekilas memperhatikan Guren yang sedang duduk menyamping. Sepasang iris birunya lalu menerawang jauh ke depan. Pemuda itu teringat mimpi yang baru saja ia alami, sebuah janji bocah polos yang menjadi salah satu alasan mengapa ia bisa bertahan hidup sampai saat ini.

“Tuan Ichinose, katakan di mana aku bisa menemuinya? Aku berjanji akan membawa Guren sebelum kematianku. Untuk Guren, maka aku tidak akan takut lagi berhadapan dengan matahari, aku akan selalu bersamanya sampai kalian bisa bertemu kembali, anda bahkan bisa menunjukkan surat-surat yang anda tulis itu padanya.”

Senyuman kecil tersungging begitu saja kala mengingat perkataannya sendiri. Penantiannya selama ini telah membuahkan hasil, tinggal sedikit lagi maka Shinya dapat memenuhi janjinya kepada tuan Ichinose, karena saat ini ia sudah bertemu dengan Guren. Kalau boleh Shinya meminta pada Tuhan, maka ia ingin agar ia bisa bernapas sedikit lebih lama lagi sampai janjinya untuk mempertemukan dua orang Ichinose itu menjadi kenyataan.

Sedang apa yah, tuan Ichinose sekarang?’

Shinya tersadar dari lamunannya dan mendapati di luar sana Guren tengah menatapnya balik, ia tertangkap basah sempat memperhatikan Guren rupanya. Si surai putih hanya bisa menampilkan senyuman bodohnya pada pemuda Ichinose.

.
\(O3O)/
.


“Jadi kenapa kalian berdua menggelar tikar piknik dan membawa semua makanan ini di taman?”

Guren dengan menampilkan wajah terganggu menunjuk perlengkapan piknik dadakan yang terhampar di hadapannya. Di atas tikar dengan motif kotak-kotak berwarna merah muda dan putih sudah ditaruh berbagai macam aneka sarapan dari hidangan pembuka hingga dessert, sekeranjang penuh buah-buahan segar dan jar susu.

Sayuri dan Shigure sebagai pelaku yang membawa makanan tersebut hanya bisa menunduk bersalah di hadapan tuan muda mereka. Sudah pasti Guren-sama tidak mengampuni apa yang sudah mereka lakukan tanpa seizinnya.

Gadis yang lebih pendek bergumam pelan kepada rekan pelayannya.

“Aku bilang juga apa, Guren-sama tidak akan menyukai semua ini.”

Lantas, gadis yang lebih tinggi --Sayuri mengangkat kepalanya mencoba menjelaskan sesuatu, walaupun rasa gugup menguasai keberaniannya.

“Sudah aku bilang untuk tidak menggangguku saat di taman, kan?”

A-ano...”

“Wah... aku tidak pernah meminta Sayuri-chan dan Shigure-chan untuk membawa makanan selengkap ini.”

Tiba-tiba saja dari arah belakang Guren sudah berdiri Shinya yang terlihat segar karena baru saja mandi. Pemuda itu mengenakan kemeja lengan panjang berwarna putih dan celana hitam. Tidak seperti biasanya, kali ini tidak ada pelindung lain yang menutupi tubuh Shinya dari sinar matahari.

Pemuda susu itu kemudian langsung duduk di atas tikar dan mengambil selembar roti lalu mengolesinya dengan madu, mencicipi satu gigitan.

Shinya, dengan senyuman ceria yang merekah akhirnya menatap sosok Guren yang masih berdiri di depannya.

“Aku yang meminta Sayuri-chan untuk melakukan semua ini loh, Guren. Kau tidak berniat untuk mengusir kami karena bermain di taman ini kan?”

Tch.” Guren memalingkan wajahnya kesal.

“Apa-apaan wajah itu? Seharusnya aku yang memasang wajah kesal karena perbuatanmu kemarin, tahu?!”

“Eh, apa yang telah Guren-sama lakukan kepada Shinya-sama?”

Sayuri yang seolah melupakan rasa bersalahnya kepada Guren ikut masuk dalam percakapan, bertanya dengan polosnya.

Shinya dengan wajah sok serius menjawab sambil menunjuk wajah Guren dengan tangannya yang masih menggenggam roti isi, mengadu pada Sayuri.

“Kau tahu Sayuri-chan? Kemarin Guren membawaku ke ruang interogasi dan menyiksaku. Padahal aku baru saja keluar dari rumah sakit. Dasar sadistik tak berperasaan!”

“Ya ampun...”

“Tutup mulutmu Hiiragi cerewet! Sayuri, Shigure, cepat pergi ke dalam--”

“Eh, kau benar-benar ingin mengusir kami?”

Guren berusaha agar tidak tersulut emosi karena kecerewetan pemuda di sampingnya ini, “Ambil pemberian dari Kureto semalam.” ia pun menoleh menatap Shinya, “Kureto memberikan kita sebuah misi.”

“Kureto-nii?”

Dengan begitu Shigure dan Sayuri pun pergi meninggalkan taman untuk membawa apa yang diinginkan tuannya. Sementara itu Guren pada akhirnya ikut duduk di sebelah Shinya, menemani pemuda albino itu sarapan sambil membicarakan misi yang diberikan Kureto semalam.

“Kita akan pergi ke kediaman Sekte Hyakuya dan mencari orang yang bernama Ferid Bathory.”

“F-Ferid?”

Kali ini Shinya menatap Guren dengan raut terkejut. Pemuda Hiiragi itu tak salah dengar, kan? Ferid Bathory, orang yang selama ini dicarinya setelah beberapa minggu mereka terpisah. Akhirnya Shinya mempunyai kesempatan untuk melihatnya kembali, ada banyak sekali pertanyaan yang sangat ingin diutarakannya.

Sementara itu Guren memandang curiga pada reaksi Shinya,

“Kau tahu Ferid?”

“E-eh?!”

Shinya yang tersadar kalau reaksinya terlalu berlebihan pun berusaha bersikap normal kembali sambil mencari jawaban yang tepat untuk Guren. Pemuda itu meraih segelas susu, berusaha menetralkan rasa gugup.

“Err... Tuan Ferid adalah salah satu profesor kerajaan Mikado no Oni.”

“Saat ini dia menjadi buronan Hiiragi dan kita akan menangkapnya kembali.”

Urgh, syukurlah jawaban Shinya tepat, dan apa tadi? Misi untuk membawa Ferid kembali? Ini bisa jadi kesempatannya untuk mempertemukan Guren dengan tuan Ichinose, lalu Guren akan menaruh kepercayaan padanya untuk bekerja sama menyelamatkan Mahiru juga. Ini seperti mendapatkan dua target dalam sekali lemparan. Shinya menatap serius Guren.

“Jelaskan padaku misinya.”

Dan saat itu juga untuk pertama kalinya Guren mulai bersikap lunak kepada Shinya dalam menjelaskan misi. Mungkin mereka hanya terbawa suasana, tetapi Guren pikir entah kenapa berbicara dengan bocah albino di sampingnya ini cukup membuatnya nyaman. Shinya adalah pendengar yang baik, dan terkadang ia akan merespon strategi yang disampaikan Guren jika menurutnya kurang bagus.

Tetapi melihat sisi baik Guren membuat mata Shinya berbinar cerah.

“Hebat, apa sekarang aku mulai mendapat kepercayaan Guren?” gumamnya tanpa sadar.

Mendengar itu, Guren mendengus kemudian menyeringai jenaka.

“Jangan percaya diri dulu, Kureto yang menaruh kepercayaan padamu sedangkan aku belum. Mataku akan selalu mengawasi pergerakanmu, Shinya.”

Hm~ tidak apa-apa, ini adalah perkembangan yang baik. Tidak lama lagi kita akan menjadi partner, Guren!”

“Bagaimana kau bisa sebegitu optimisnya? Dan lagi, apa motifmu sehingga ingin sekali menyelamatkan Mahiru?”

Mendengar pertanyaan Guren yang tiba-tiba, lantas pandangan Shinya menerawang jauh ke depan.

“Selalu optimis akan tujuan adalah salah satu cara untuk bertahan hidup, dan mengenai motivasiku kepada Mahiru...”

Shinya kemudian menoleh memandang tepat di mata Guren, senyuman hangat terpatri di wajahnya.

“Aku tidak tahu perasaan apa ini, tapi aku selalu ingin melindunginya, aku ingin menyelamatkannya. Mungkin aku mengagumi Mahiru, atau mungkin aku menyukainya. Dia adalah gadis yang baik.”

“............”

Dan Guren hanya terdiam, pandangannya tak kalah dalam di mata Shinya. Ini bukan seperti ia cemburu atau apa pada pemuda itu. Guren hanya iri terhadap ia yang dengan mudah dapat mengutarakan apa yang dirasakannya pada Mahiru, tidak seperti dirinya yang tidak mampu berbuat apa-apa.

Ditatap sedemikian rupa oleh Guren membuat Shinya sadar kalau pernyataannya mungkin membuat Guren tersinggung. Pemuda itu secara spontan menutup mulutnya dan berujar lirih.

“Ya ampun, aku lupa kalau Guren juga menyukai Mahiru. Berarti kita adalah rival...”

Guren memutar kedua bola matanya, tetapi ada setitik senyuman geli yang muncul di ujung bibir itu.

“Terkadang sikap terus terangmu membuatmu terlihat lebih bodoh.”

“A-apa?!”

Ano Guren-sama, ini barang yang anda minta.”

Di tengah percakapan dua adam itu, Sayuri dan Shigure datang dengan membawa pakaian dan senjata yang diberikan Kureto semalam.

“Ambilah Shinya, Kureto memberikan semua itu untukmu.”

Shinya dengan perasaan yang amat senang pun menerima pemberian Kureto dari tangan Sayuri dan Shigure. Iris biru itu berbinar cerah bagaikan lautan yang memantulkan cahaya matahari.

Whoaa... bayonet yang selama ini kuincar, Byakkomaru! Akhirnya ada di tanganku. Terima kasih untuk kalian!”

“Kau terlihat senang sekali.”

“Tentu saja, ini adalah senjata yang hanya diberikan kepada prajurit Mikado no Oni yang sudah diakui kekuatannya. Tidak mudah untuk mendapatkannya kau tahu.”

Terkadang, Guren berpikir kalau Shinya itu defenseless dan telalu polos dalam beberapa hal. Dia seperti bocah yang baru mengenal dunia dan lingkungan luar.

“Kau bisa menggunakan ruang latihan keluarga Ichinose untuk mengetes senjatamu itu.”

Un! Kalau begitu aku pamit permisi. Sekali lagi terima kasih Sayuri-chan, Shigure-chan, dan rivalku Guren! Oh iya... Guren, tolong ajak pelayanmu ini ngobrol, aku sudah berjanji kalau kau akan menemani mereka di taman ini. Kalau begitu bye bye!” Shinya mengerlingkan matanya pada Guren, tersenyum manis.

E-eh Shinya-sama?!”

O-Oi, jangan seenaknya menyuruh orang!”


.
.
.
//Chapter 5, New Home//
.
.
.


You can ignore this but it is better if you guys read. :v

Entah kenapa, Nys berpikir kalau hubungan GureShin selalu kayak roller coaster. Naik turun.

Well, sampai chapter ini mereka masih belum ada rasa satu sama lain yaa~ buktinya mereka masih stuck sama Mahiru. Harap bersabar, semuanya butuh proses hehehe. :D

Tapi untuk chapter mendatang, Nys akan menaikkan ratingnya menjadi Mature! Karena ada konten yang menjurus ke lemon di dalamnya, khukhukhu You better prepare. Mungkin gak terlalu asem sih, Nys masih dalam tahap belajar ngetik adegan dewasa haha XD.

Next chap belum menuju ke kelanjutan cerita karena ada bagian spesial.

Hai, NysAeri here~ gomen karena update kali ini teralu lama. Shoganai, soalnya bentrok sama rl di mana tugas menumpuk. *alibi*

Pokoknya terima kasih karena kalian sudah sabar menunggu fanfik amatir ini, review kalian menjadi sumber semangat buat Nys. Sankyuu~! 

Jangan sungkan untuk mengutarakan pendapat atau pertanyaan kalian mengenai chapter ini ya!

See you then.^^

Comments

  1. Ini original content buatan Hallomina kah? bagus banget! aku minta nomor WA nya dong...

    ReplyDelete
  2. atau gak, paling minimal bagi saya kontak bisnis deh...

    ReplyDelete
  3. Uwaah kKak kapan dilanjutinnya? Saya minat banget sama ceritanya! Lanjut ya? Baru setengah tahun hiatus kan ya? Masih ada kemungkinan lanjut kan? Sayang banget kalau berhentii uhuhu.. semangat terus nulisnya kakak!

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

List Rekomendasi Anime Yaoi, Shounen Ai, BL 2021

List Anime Yaoi, Shounen Ai-BL 2020