Owaranai Suffering (Chapter 2) A GureShin Fanfiction
Ruangan
minimalis dengan cahaya remang-remang yang bahkan sangat sulit sekali
untuk melihat sesuatu yang ada di sekitarnya. Sebuah single
bed
diletakkan di pojok ruangan, nakas kecil di pinggiran kasur, meja
makan terletak di tengah-tengah, dan kamar mandi di sisi yang agak
jauh. Daripada sebuah kamar, ruangan ini lebih pantas disebut sebagai
sel penjara.
Dalam
kamar yang minim pencahayaan inilah Shinya tumbuh bersama ibunya.
Sejak
ia lahir ke dunia, Shinya tidak pernah mengenal tempat lain kecuali
kamar ibunya, ruang latihan, perpustakaan, dan taman kecil khusus
yang dibuat untuknya yang terletak di belakang kediaman Hiiragi.
Shinya
kecil sangat menyukai taman miliknya, taman yang hanya digunakan
olehnya tanpa ada orang lain yang menggangu. Itu seperti Secret
Base
baginya. Ia
menyukai tempat itu karena di sana Shinya bisa melihat bunga-bunga
penuh warna yang bermekaran, ia juga bisa merasakan bagaimana
hangatnya sinar matahari menembus kulitnya. Seperti pelukan ibu,
begitulah pikirnya.
Sangat berbeda dengan ruangan di mana ibunya
tinggal, sebuah kamar pengap tanpa warna dengan cahaya yang sangat
sedikit. Bukannya Shinya membenci tempat itu, ia bahkan menjadikan
kamar ibunya sebagai tempat favoritnya selain taman. Shinya tidak
pernah tahu alasan ibunya betah tinggal di situ, yang ia tahu ibunya
hanya orang luar yang terjebak dalam sangkar Hiiragi dan ia pun lahir
di tempat ini.
Kegiatan
Shinya di kediaman Hiiragi tidak ada yang spesial. Ia hanya melakukan
rutinitas yang seolah telah dirancang oleh para bangsawan itu untuk
menjadikannya senjata ampuh andalan Hiiragi. Ketika pagi hari sampai
siang, jadwalnya adalah latihan menggunakan senjata, mempelajari
strategi perang atau cara membunuh musuh. Siang hari ia gunakan untuk
membaca buku di perpustakaan keluarga Hiiragi. Ketika sore hari, ia
akan menghabiskan waktunya di taman, entah itu menyirami bunga,
menangkap serangga, atau sekadar duduk menyendiri. Taman itu memiliki
suasana yang menenangkan, setidaknya ia bisa mengalihkan kepenatannya
dari rutinitas sehari-hari yang menyiksa. Setidaknya ia bisa
melupakan sejenak jeritan teman-teman yang mati di tangannya sendiri.
Lalu saat malam hari, Shinya akan masuk ke kamar ibunya, kadang ia
akan menceritakan hari-harinya atau ia akan menyelinap ke atas kasur
dan langsung bersembunyi di balik pelukan ibunya, tertidur pulas.
Saat
usianya menginjak lima tahun, pada malam hari Shinya menyelinap ke
kamar ibunya yang remang-remang. Seperti biasa, ibunya sedang duduk
di depan jendela menatap bulan, sebuah buku bacaan berada dalam
genggaman tangan kanannya. Ibunya tampak cantik dengan rambut putih
panjang yang tergerai.
“Ibu,
aku pulang.” Shinya langsung berlari menerjang ibunya, ia pun
disambut dengan pelukan hangat wanita itu
“Eeh,
kesatria ibu sudah pulang, selamat datang. Bagaimana hari ini Shinya
sayang, apakah menyenangkan?”
“Uhm!
Aku berhasil mengalahkan lawanku di tempat latihan, penguji bilang
mereka sedang dirawat di rumah sakit sekarang. Dan ibu, bunga melati
yang ada di taman mekar, aku baru tahu kalau baunya sangat harum.”
Shinya
menengadahkan wajahnya menatap sang ibu. Dalam kegelapan itu ia bisa
melihat mata ibunya yang berkaca-kaca, iris biru seperti permata yang
sangat indah. Shinya selalu bertanya-tanya, apakah iris miliknya juga
berwarna biru? Ia tidak pernah tahu parasnya bagaimana, apakah
wajahnya mirip dengan ibunya? Atau ayahnya? Haha padahal Shinya
sendiri tidak pernah tahu kalau ia memiliki ayah atau tidak.
Saat
ditanya, ibunya akan menjawab kalau matanya juga biru dan ia mirip
dengan ibunya. Ketika ditanya tentang ayah Shinya, apakah masih hidup
atau tidak, ibunya akan tersenyum dan memeluk Shinya erat lalu
menangis. Maka Shinya tidak pernah mempertanyakan itu lagi.
Wanita
cantik itu tersenyum hangat menatap Shinya penuh kasih sayang.
Dielusnya surai putih yang mirip dengan miliknya. Ada rasa pilu kala
buah hatinya membicarakan perihal yang seharusnya tidak dibanggakan
oleh anak seusianya. Shinya masih terlalu dini untuk itu. Tetapi
bangsawan Hiiragi berusaha menjadikan Shinya senjata andalan mereka.
“Tidak
peduli apa yang kerajaan lakukan padamu, tetaplah menjadi Shinya yang
baik oke?”
“Hai
haiy~.”
Shinya menganggukan kepalanya cepat meskipun ia tidak terlalu
mengerti apa yang ibunya bicarakan.
“Nee,
ibu, kapan-kapan ayo main ke taman bersamaku. Kita lihat bunga yang
bermekaran di sana!”
“Kapan-kapan
ya sayang.”
Di
tengah percakapan itu seseorang tiba-tiba membuka pintu kamar dan
memanggil ibunya. Mereka seperti membicarakan sesuatu yang penting di
balik pintu yang terbuka, Shinya bisa melihat raut kesedihan yang
sempat menghiasi wajah ibunya sebelum ia kembali menghampiri Shinya.
“Hari
sudah larut, ayo kita tidur, Shinya.”
Malam
itu ibunya memeluk Shinya erat dalam tidur, ia juga merasakan air
yang tiba-tiba membasahi kepala Shinya dan isakan tertahan dari
ibunya. Shinya hanya berpura-pura tidak mengetahuinya sebelum
akhirnya ia jatuh tertidur dalam kehangatan sang ibu.
.
.
Di
pagi hari, Shinya tidak mendapati sosok ibunya di kamar.
Saat
itu juga kediaman Mikado no Oni tampak sibuk dengan agenda perang.
Itu seperti bencana besar telah menimpa Jepang, banyak prajurit dari
kerajaan Mikado no Oni yang terluka bahkan meninggal. Shinya tidak
tahu apa yang terjadi di luar sana.
Selama
satu minggu Shinya tidak diperkenankan untuk keluar dari kamar gelap
itu, ia tidak melakukan rutinitas hariannya seperti biasa, entah itu
berlatih ataupun bermain-main di taman. Bangsawan Hiiragi
melarangnya. Selama itu juga Shinya sudah tidak lagi melihat
kehadiran ibunya di kamar.
Kamar
pengap dengan cahaya remang-remang semakin terasa dingin sejak ibunya
menghilang.
Shinya
membenamkan diri dalam balutan selimut yang lusuh.
Pikirannya
yang masih polos bertanya-tanya, di manakah ibunya berada? Kenapa
keluarga Hiiragi tidak mengizinkannya ikut bersama sang ibu? Apakah
ibunya baik-baik saja di luar sana?
Tidak
ada yang dapat Shinya pikirkan selain kecemasannya terhadap ibu yang
ia sayangi, sejak kecil mereka berdua tidak dapat dipisahkan. Hanya
ibunya, orang yang paling Shinya kenal di sini, bahkan mungkin dunia
ini. Ibunya adalah satu-satunya cahaya yang menuntunnya dalam
kegelapan dan kekejaman dunia. Jika wanita itu tidak ada, lantas
siapa yang akan melindunginya dari kehancuran? Untuk apa Shinya
hidup?
Ketika
memikirkan ibunya, air mata mengalir begitu saja membasahi pipi
Shinya. Ia tidak mengerti kenapa itu tidak bisa berhenti.
Untuk
pertama kalinya setelah satu minggu, pintu kamar Shinya diketuk. Lalu
ketika pintu terbuka, seseorang kemudian menghampiri tempat tidur
Shinya, menyibak selimut yang menutupi seluruh tubuhnya. Bocah lima
tahun itu melebarkan matanya tatkala mengetahui siapa yang datang ke
kamarnya.
“Hiiragi...
Tenri-sama!”
.
.
Owaranai
Suffering
(Chapter
2, A Boy with Vampire Virus in His Body)
Karakter
OnS (c)
Kagami Takaya, Cerita (c)
NysAeri
Shounen-Ai,
Drama, Action, Sci-Fi (maybe)
Warning:
Cerita
murni dari imajinasi saya dengan beberapa hasil imitasi dan EYD
sebisanya, romansa Boys Love dengan bumbu straight di dalamnya,
Ke-OOC-an mungkin dialami oleh para karakter (saya sudah peringatkan
loh yaa).
.
.
“Cepatlah
lari, Shinya!”
“Tapi
tuan Ichinose terluka...”
“Aku
yang akan mengurusnya, yang terpenting larilah. Cari jalan keluar.
Aku pastikan kau mendapat perlindungan di luar sana!”
“Tuan
Ichinose...”
“Benar
Shinya, keluarlah dari tempat ini. Jangan khawatirkan aku. Aku akan
baik-baik saja.”
“Satu
minggu, aku berjanji akan menghubungimu nanti.”
.
“....Bahkan
ini sudah dua minggu dan aku belum mendapat kabar apa pun dari
kalian. Cepat atau lambat aku pasti akan tertangkap.”
Shinya
merapatkan mantel yang dikenakannya. Saat ini ia berada di salah satu
gerbong kereta yang sedang berjalan menuju stasiun Shinjuku.
Kendaraan panjang itu melaju cepat di atas rel.
Pemuda
bersurai putih itu memperhatikan sekelilingnya. Ini bukan tempat yang
biasa ia datangi, bahkan hampir tidak pernah. Matanya waspada
mengamati sekitar. Sekte Hyakuya bisa saja berada di tempat yang sama
dengannya.
Semenjak
usaha melarikan dirinya bersama Ichinose Sakae dari Sekte Hyakuya dua
minggu yang lalu, mereka terpisah dan kehilangan kontak. Maka Shinya
harus berusaha menjalani kehidupannya sendiri sebagai subjek
percobaan Virus Vampir. Ia harus mencari tempat tinggal sementara dan
pekerjaan sampai rekannya yang satu lagi menghubungi. Selama itu juga
Shinya tidak boleh terkena sinar matahari secara langsung, jadi ia
selalu mengenakan mantel dan pakaian tertutup lainnya untuk
melindungi tubuhnya, sekaligus menyembunyikan diri dari orang-orang
yang mengincarnya. Tetapi penantiannya selama ini belum terbayar
juga. Tidak ada tanda-tanda kalau rekannya akan menghubungi.
.
Shinya
melihatnya, beberapa meter dari tempat ia berdiri saat ini, dua orang
pria berpakaian serba hitam tengah memperhatikannya secara diam-diam.
Dua orang itu tidak menyerang Shinya, mungkin mereka takut menarik
perhatian penumpang kereta.
‘Itu
pasti prajurit Hyakuya.’ Batin
Shinya.
“Hei,
anak manis. Sendirian saja di kereta ini heum?”
Seorang
pria tua tak dikenal tiba-tiba saja mendekat ke arah Shinya,
memepetkan tubuhnya penuh nafsu.
‘Sekuhara*?
Ya ampun apalagi ini...!’
Shinya
berusaha bersikap setenang mungkin, panik di saat seperti ini adalah
tindakan yang ceroboh. Ia lantas memeriksa apakah di dalam gerbong
kereta itu terdapat kamera pengawas atau tidak sambil terus
memperhatikan dua orang Hyakuya tak jauh dari tempatnya.
Setelah
memastikan kalau di sana tidak terdapat kamera pengawas, Shinya pun
melancarkan aksinya. Di dorongnya tubuh pria tua itu secara pelan.
“Permisi,
tuan. Tubuh anda terlalu dekat.”
“Hahaha,
apa salahnya? Toh tidak ada yang melihat ini. Bagaimana kalau aku
elus bokongmu yang kenyal ini?”
Shinya
segera menepis kasar tangan kotor itu sebelum pria tersebut
benar-benar mendaratkannya pada tubuh Shinya.
“Sebaiknya
anda tidak menyentuh saya karena tubuh saya bisa menyebarkan virus.”
“Eeh
omong kosong macam apa itu? Menyerah saja sebelum aku mencelakaimu,
nak!”
“Maaf
saja tapi itu adalah perkataan saya tuan. Menyerah saja sebelum saya
mencelakai anda.”
Shinya
menggigit bibir bawahnya hingga mengeluarkan darah. Dengan gerakan
yang cepat, tangannya mengusap darah tersebut lalu beralih memelintir
tangan si pria tua, menguncinya ke belakang sampai tidak bisa
bergerak lagi. Tangan yang terdapat darah itu ia usapkan pada telapak
si pria tua. Gerakannya terlalu apik sampai-sampai tidak menimbulkan
kecurigaan penumpang lain yang ada di kereta tersebut.
Shinya
berbisik dengan nada tajam.
“Sekali
lagi maafkan saya tuan, tapi ini terpaksa saya lakukan demi
melindungi saya dari kejahatan.”
“Sialan!!”
Setelah
mengatakan itu, beruntung kereta telah sampai pada stasiun yang
Shinya tuju. Pemuda itu segera melepas kunciannya pada si pria tua
dan lekas keluar dari gerbong sebelum ia menarik perhatian orang
lain, sebelum ia dikejar oleh pria tua, dan sebelum orang Hyakuya
menangkapnya.
“Hei
jangan lari!”
Benar
saja, setelah Shinya keluar dari kereta, si pria tua mengikutinya
dari belakang. Cuaca pagi itu lumayan cerah, dan cahaya matahari pun
bersinar dengan cukup terik. Baru beberapa pijakan pria tersebut
melangkah, hal yang selanjutnya terjadi adalah rasa sakit yang
tiba-tiba menyebar di sekitar telapak tangannya. Secara cepat, api
pun muncul dan membakar pria tersebut hingga menjadi abu. Ia seperti
vampir yang baru saja dimusnahkan dengan kekuatan sinar matahari.
Pagi
itu, Shinjuku dibuat heboh oleh kejadian yang tak diduga tersebut.
.
\(O3O)/
.
Wanita
yang menjadi bagian penyeleksi untuk pelamar kerja mengernyitkan
dahinya ketika mendapati sosok Shinya yang melamar pekerjaan sebagai
maskot taman bermain yang baru saja di buka pada hari itu.
“Namamu
hanya Shinya? Apakah ini nama marga atau...”
“Haiy,
Shinya adalah nama saya. Marga saya sudah tidak digunakan lagi karena
kedua orang tua saya meninggalkan saya beberapa tahun yang lalu.”
“U-uh
maaf.”
“Tidak
masalah, nyonya.”
Shinya
menampilkan senyuman manisnya pada petugas tersebut, yang membuat
wanita itu bersemu dan salah tingkah sendiri. Di sini ia yang
seharusnya membuat gugup pelamar kerja karena wawancara yang
dilakukannya, tetapi malah terbalik menjadi gugup hanya karena si
pelamar kerja tersebut tersenyum padanya.
Untuk
mengalihkan rasa gugupnya, wanita itu kembali membaca surat lamaran
Shinya.
“Lagian,
apa tidak salah melamar di sini? Maksudku wajahmu cukup menjanjikan
untuk dipasang pada poster dan majalah. Kamu lebih pantas menjadi
model, idol,
atau semacamnya...”
Bukan
tanpa alasan, wanita itu pikir Shinya memang cocok bekerja sebagai
seorang model. Lihatlah, ia tinggi dan ramping, tidak terlalu kurus
dan tidak gemuk juga. Mungkin ototnya memang tidak begitu menonjol,
tetapi itu didukung dengan parasnya yang seperti boneka. Tampan dan
imut di saat yang bersamaan. Kulit susu dan rambut putih yang terasa
lembut ketika disentuh. Dan jangan lupakan aset utama yang dimiliki
setiap orang, yaitu wajahnya. Iris sewarna lautan jernih yang bisa
membuat siapa saja tenggelam di dalamnya, bulu mata yang lebat dan
lentik, hidung bangir, pipi yang merona dan juga bibir peach
agak pucat yang selalu menampilkan senyuman manis seperti madu.
Siapa
saja akan jatuh cinta pada pandangan pertama karenanya.
Untuk
pemikirannya yang melantur, wanita itu menggelengkan kepalanya.
“Eto...
saya bukan tipe orang yang nyaman dengan banyak perhatian, tapi saya
sangat senang atas pujian anda.” Shinya menggaruk pipinya merasa
malu.
‘KYAAA...
KAWAII**!!!!’
“Ehm
baiklah, lamaranmu saya terima. Kamu bisa bekerja mulai hari ini.
Kontrak kerja yang sudah disepakati adalah dua minggu, karena ini
hanyalah sebagai ajang promosi taman bermain. Tapi kami bisa
merekrutmu lagi jika kinerjamu ternyata bagus. Dan maskot yang akan
kamu gunakan adalah Neko-chan.”
“Haiy!
Saya juga menyukai kucing, saya akan bekerja dengan keras. Terima
kasih banyak, nyonya.”
“Err...
kalau kau berminat di dunia permodelan, aku bisa mencarikanmu semacam
agensi...”
“Baiklah,
akan saya pikirkan. Terima kasih, nyonya.”
.
\(O3O)/
.
Hiiragi
Kureto berjalan di koridor kerajaan Mikado no Oni, Sangu Aoi
mengikuti di belakangnya dengan kedua tangan yang membawa peralatan
untuk menyajikan teh. Mereka berdua berjalan dalam diam. Setelah
sampai di kamar yang dituju, Kureto membuka pintu ruangan tersebut
tanpa mengetuknya terlebih dahulu.
Pemandangan
yang pertama kali matanya lihat adalah ruangan berwarna lavender
lembut dengan perkakas yang lumayan lengkap. Sebuah kasur Queen
size, meja
makan beserta kursi, tempat rias, lemari besar, sofa berikut televisi
dan lemari es, kamar mandi dan perabot mewah lainnya mengisi ruangan
yang sangat luas tersebut. Kamar itu seperti apartemen dalam sebuah
istana.
Dari
segala hal yang dilihat Kureto, ia menemukan seorang gadis muda
tengah duduk merenung di atas kasurnya sambil melipat kaki. Sepasang
borgol dengan rantai yang panjang melingkar di pergelangan tangannya.
Gadis itu tidak menampakkan raut terkejut saat Kureto secara tidak
sopan memasuki kamarnya. Ia juga tidak mengalihkan pandangannya dari
kaca jendela untuk sekadar melihat Kureto.
Gadis
itu adalah Hiiragi Mahiru.
Kureto
lantas duduk pada salah satu sofa tak jauh dari tempat Mahiru berada.
Sangu Aoi mengekorinya dari belakang, tanpa banyak bicara gadis itu
mulai menyiapkan peralatan teh yang dibawanya ke atas meja di hadapan
sang tuan muda Hiiragi.
“Bagaimana
kabarmu, Mahiru?”
“Untuk
apa kau repot-repot datang ke sini? Kamarku bukan kuil untuk upacara
minum teh, asal kau tahu saja.”
Mahiru
berkata dengan nada dingin. Sorot matanya tampak hampa menatap sang
kakak.
“Untuk
mensyukuri sebuah pengharapan, bukankah lebih bagus jika dirayakan
bersama-sama? Kau sepertinya baik-baik saja.”
“Ya,
aku baik-baik saja jika Hiiragi tidak mengurungku dalam sangkar
memuakkan ini. Bahkan kalian sampai repot-repot memborgolku begini,
sekhawatir itukah kalau aku akan kabur dan mengacaukan dunia?”
“Hahaha,
walaupun kau sempat melakukan hal bodoh karena dengan mudah dijadikan
kelinci percobaan oleh Sekte Hyakuya, tapi Hiiragi masih
menghormatimu dengan tidak mengendurkan pengawasan kami padamu. Kau
juga harusnya bersyukur karena Hiiragi masih mau menerimamu.”
“Tentu
saja, mana mungkin kalian tidak menerima inang dari Virus Vampir ini?
Bahkan kalian memanfaatkannya dengan sangat baik.”
“HAHAHAHA.”
Kureto
tertawa kejam dalam ruangan itu.
Mahiru
hanya bisa menggigit bibir bawahnya, merasa kesal. Kalau saja
peristiwa tahun lalu tidak terjadi...
Ya,
Mahiru masih mengingatnya, ia tidak mungkin melupakan kejadian itu.
Saat dirinya yang begitu ngotot ingin menentang Hiiragi demi cintanya
pada Guren, ia kemudian dengan bodohnya mempercayai Sekte Hyakuya
yang mengiming-imingkan cara untuk menghancurkan klan Hiiragi dan
membuat Guren datang kepadanya, untuk mendekap dan menyelamatkannya.
Pada akhirnya, Hyakuya busuk itu menjadikannya subjek untuk dijadikan
inang Virus Vampir. Mahiru bahkan menjadi tahu bahwa Shinya juga
dijadikan subjek percobaan jauh sebelum dirinya, ia masih ingat
kata-kata profesor jahat yang menanganinya.
“Virus
Vampir ini adalah wabah yang langka dan mematikan, hanya orang-orang
tertentu yang dapat dijadikan sebagai inang. Omong-omong, saudara
laki-lakimu yang bernama Hiiragi Shinya itu adalah subjek yang
istimewa untuk percobaan ini karena darah campuran yang ada dalam
tubuhnya. Haaah... andai saja saat itu aku yang menangani Hiiragi
Shinya dalam menjadikannya inang, bukan keluarga Hiiragi, aku akan
merasa sangat terhormat...”
“...Kita
berdoa saja, semoga tuan puteri tidak terbakar saat terkena sinar
matahari nanti. Yah... itu kemungkinannya kecil sih, aku percaya kok,
karena Hiiragi adalah klan yang kuat, iya kan, Mahiru-sama?”
Cih.
Mahiru hanya bisa menggertakan giginya setiap mengingat kejadian itu.
“Lalu,
apa yang kau syukuri itu, Kureto Onii-sama? Aku tidak butuh rasa
syukurmu atas penderitaanku.”
“Heh,
aku bukan kakak yang sekejam itu...”
“Lantas?”
“....Aku
menemukan Shinya. Dia muncul di stasiun Shinjuku, dan merupakan
dalang dari kejadian orang yang terbakar kemarin pagi.”
Mahiru
melebarkan matanya.
Hiiragi
Shinya, saudara angkatnya, orang yang menjadi inang Virus Vampir
selain dirinya, yang pernah dikatakan spesial.
Setelah
virus mematikan itu dimasukkan ke dalam tubuhnya, Mahiru tidak lagi
dapat merasakan cahaya matahari secara langsung, ia dikurung dalam
sel penjara milik Sekte Hyakuya. Sebulan kemudian, pasukan Hiiragi
datang menyelamatkannya, atau lebih tepat kalau dibilang
mengambilnya. Karena ketika ia kembali ke kerajaan pun, orang-orang
sudah memperlakukannya berbeda. Mahiru berganti peran, dari sang tuan
puteri kesayangan Hiiragi Tenri, kini menjadi kelinci percobaan yang
setiap harinya harus disiksa dalam ruangan yang bernama laboratorium.
Kedua tangannya bahkan sampai dirantai untuk mencegah ia melarikan
diri dari kerajaan.
Tetapi
suatu ketika, profesor yang ada di laboratorium itu pernah berkata,
kalau virus dalam tubuhnya bisa dihilangkan dengan penawar tak lain
adalah darah dari orang yang menjadi inang Virus Vampir juga.
Ibaratnya sebuah vaksin, virus dilawan dengan virus pula.
Tidak
salah lagi, jika Mahiru berhasil membawa Shinya dan memintanya
mengorbankan nyawa demi dirinya, Mahiru pasti bisa sembuh, Mahiru
pasti bisa kembali pada kehidupan yang sebelumnya.
“Bagaimana
kabarnya saat ini?” Mahiru melirik kakaknya.
“Aku
sudah menyebar pasukan untuk mencari keberadaannya. Kami akan segera
menemukannya dan membawanya pulang.”
Ujar
Kureto dengan kepercayaan diri yang tinggi. Pemuda itu kemudian
menyesap teh yang sudah disajikan oleh Aoi. Sebenarnya pelayan setia
Kureto itu juga menyajikan teh untuk Mahiru, tetapi gadis itu tidak
menyentuhnya sama sekali.
“Hah,
percaya diri sekali. Terus, apa yang akan kau lakukan jika sudah
mendapatkan Shinya?”
“Sebagai
sesama subjek percobaan, kau tidak perlu tahu.”
“Tapi
sebagai keturunan asli keluarga Hiiragi, aku patut mengetahuinya.”
Kureto
diam tak menggubris.
“Cih.”
“Omong-omong,
Mahiru. Tadi pagi aku bertemu dengan orang terkasihmu, Ichinose
Guren...”
“.......”
“...Dia
menanyakan kabarmu, dan kubilang kalau kau baik-baik saja. Aku juga
menyuruhnya untuk melupakanmu. Haaah... sudah lima tahun berlalu
tetapi perasaan semu kalian masih saja dipertahankan. Aku penasaran,
apakah jika aku mengatakan keadaanmu yang sebenarnya, Guren akan
menolongmu?”
“Guren...”
.
.
.
\\Chapter
2, A Boy with Vampire Virus in His Body//
.
.
.
*Sekuhara:
pelecehan seksual
**Kawaii:
imut :)
......
Konnichiwa...
Akhirnya chapter kedua bisa update
juga!!
Kali
ini giliran Shinya yang muncul yeay. :) Tadinya Nys mau bikin cerita
ini berkonsep misterius biar pembaca penasaran gitu, tapi ternyata
gagal. Kalau Nys berusaha sok-sok’an pake rahasia di tiap
narasinya, malah jatohnya makin membingungkan cerita. Jadi yah,
sudahlah. Kalian mungkin bisa membaca alurnya bakal seperti apa.
Berdoa saja semoga cerita ini tetap dapat menghibur, ya?
Untuk
beberapa chapter, narasi awal akan menceritakan tentang flashback
kehidupan karakter utama. So, bagi yang penasaran pada beberapa
hints, nanti secara perlahan akan dijelaskan latar belakang mengapa
mereka bisa jadi seperti itu. Just
follow the story...
Kalau
di LN Kureto itu selalu kalah dari Mahiru, tapi di sini Nys buat
seolah-olah Mahiru itu terlalu dibutakan oleh cintanya kepada Guren,
jadi Kureto manfaatin celah itu. Yah namanya juga cinta, kalo udah
nyangkut masalah perasaan, kejeniusan pun akan kalah. Gomen,
kalau misalnya Nys terlalu memaksakan karakter Mahiru dan yang
lainnya di sini.
Review
tetap ditunggu...! Jaa
ne.
:)
Eits,
masih ada lanjutan falshback
di bawahnya. Enjoy!
.
.
.
.
.
Shinya
kecil hanya bisa terpaku ketika raja dari Mikado no Oni duduk di
pinggiran kasurnya.
Hiiragi
Tenri.
Adalah
kesempatan yang sangat sangat langka bagi Shinya untuk dapat bertemu
orang nomor satu bangsawan Hiiragi tersebut. Tentu saja, dia dan
ibunya hanyalah seorang tahanan kerajaan, mereka hanya orang asing di
sini.
Hiiragi
Tenri dengan wajah penuh wibawa membuka suara dalam kamar yang hening
itu.
“Ibumu
telah melakukan tugasnya dengan baik, aku turut berterima kasih atas
jasa besarnya.”
“Ibuku?
Hiiragi-sama, di mana ibuku? Aku tidak melihat ibu seminggu ini.”
Shinya
dengan suara cemprengnya berujar antusias di hadapan Hiiragi Tenri,
ia bahkan sampai memegangi lengan pakaian yang dikenakan sang raja
seolah-olah mereka berdua sudah akrab.
Raja
Hiiragi yang selalu tegas dengan wajah menyeramkannya dan seolah tak
tersentuh, kala itu membiarkan Shinya memegang tangannya, tetapi ia
tidak menurunkan sikap dinginnya sama sekali. Ia pada Shinya berkata.
“Kau
tidak bisa lagi bertemu ibumu di dunia ini, Shinya.”
“A-apa?
T-tidak mungkin...!”
Shinya
menghentikan pergerakannya pada tangan Hiiragi Tenri, mematung.
Walaupun masih kecil, tetapi ia sudah mengerti makna dari perkataan
Hiiragi-sama barusan. Ia tidak bisa bertemu ibunya di dunia ini lagi
berarti...
...Tuhan
telah menjemputnya menuju surga. Ibunya telah meninggalkan dunia ini
untuk selamanya.
“Ibu...”
Tangis
bocah kecil yang baru berusia lima tahun itu pun pecah. Air mata
kembali membanjiri pipi Shinya setelah sempat terhenti beberapa saat
yang lalu, bahkan kali ini lebih deras.
Mengapa
Tuhan mengambil ibunya secepat itu?
Hiiragi
Tenri tanpa suara mendaratkan telapak tangannya di atas kepala
Shinya, mengelus surai putih itu pelan.
“Tugas
ibumu di dunia ini sudah selesai. Sebagai gantinya, Shinya, mulai
saat ini aku mengangkatmu menjadi bagian dari keluarga Hiiragi.
Namamu yang sekarang adalah Hiiragi Shinya, dan kau akan mengabdikan
seluruh hidupmu untuk Mikado no Oni.”
“Hiiragi...
Shinya...?”
.
.
Setelah
kejadian tersebut, malam harinya Shinya dibawa ke ruangan berwarna
serba putih dengan peralatan-peralatan aneh memenuhi ruangan
tersebut. Seseorang kemudian memasukkan sesuatu ke dalam tubuhnya
melalui jarum suntik, entah apa itu Shinya tidak tahu. Dan hari-hari
yang hangat dengan sinar matahari pun berakhir mulai saat itu.
Shinya
memang sudah menyandang status sebagai bagian dari keluarga Hiiragi,
tetapi perlakuan yang didapatkannya sama sekali tidak berubah, bahkan
lebih parah. Ia tetap tinggal di kamar yang gelap, tidak
diperbolehkan keluar ataupun melakukan sesuatu tanpa seizin pengawas
Hiiragi, latihan bertarung semakin ditingkatkan bahkan ia telah
ditugaskan dalam kelompok pembunuh, tetapi ia tidak boleh mendapat
luka sekecil apa pun. Apabila itu terjadi, ia akan langsung dibawa ke
ruangan putih yang sama dan perawatannya akan sangat menyakitkan.
Taman kecil yang selalu hangat karena sinar matahari, kini dibuat
seperti benteng yang mengurung bunga-bunga di sana untuk hidup secara
alami.
Semuanya
berakhir.
Shinya
tidak pernah mengharapkan kehidupan yang indah dan penuh cinta, saat
ini saja rasanya ia tidak mempunyai minat untuk mencoba bermimpi atau
memikirkan masa depan. Baginya, kehidupan yang penuh arti sudah
berakhir saat Hiiragi membuat dia dan ibunya berpisah.
Dendam
sempat menghinggapi hatinya, tetapi itu tidaklah cukup. Ketakutannya
pada keluarga Hiiragi dan ketidaktahuannya lebih besar dibandingkan
dendamnya. Mulai saat itu, Shinya tidak tahu lagi apa tujuannya hidup
di dunia ini, maka ia hanya bisa menjadi anjing keluarga Hiiragi yang
patuh. Tidak lebih.
.
Pleasee pertemukan guren dan shinyaaaa!!
ReplyDelete