Owaranai Suffering (Chapter 4) A GureShin Fanfiction



Putih.

Itulah hal yang pertama kali Shinya lihat ketika ia membuka matanya. Pemuda itu kini berada di salah satu rumah sakit milik kerajaan Mikado no Tsuki yang berada di distrik Shibuya. Meskipun Shibuya adalah daerah kekuasaan Mikado no Oni, tetapi bangsawan lain di luar kerajaan seperti Ichinose masih bisa mendirikan bangunan miliknya di wilayah ini, tentunya dengan beberapa kesepakatan terlebih dahulu.

Shinya sepenuhnya tersadar dari pingsannya semalam. Tubuhnya masih terasa lemas dan kepalanya agak pusing, tetapi ia masih mencoba untuk duduk. Setelah menetralkan pandangannya yang sempat kabur, lantas si surai salju itu mengobservasi ruangan yang ia tempati. Sebuah kamar rumah sakit yang lumayan mewah bercat putih dengan beberapa aksen emas dan warna merah.

Seperti rumah sakit pada umumnya, ruangan ini terisi oleh sebuah ranjang pasien dan perabot kesehatan di sekelilingnya. Di pojok ruangan ada sofa panjang berlapis beludru warna abu-abu dan sebuah meja kecil di depannya sebagai waiting area keluarga pasien, di sebelah kirinya ada rak dengan berbagai macam buku. Sofa itu tidaklah kosong, melainkan tengah ditempati oleh seorang pemuda yang sedang tertidur.

Tubuh atletis, kulit putih langsat, rambut hitam yang sedikit acak-acakan, pakaian serba hitam dengan garis merah dan beberapa atribut militer yang menempel di sekitar dada dan bahunya. Tidak salah lagi, pria itu adalah orang yang mengejarnya bersama Yuu di jalanan Shibuya.

Shinya mencoba mengingat-ingat kejadian yang dialaminya beberapa waktu yang lalu sehingga ia bisa berakhir di ruangan beraroma obat-obatan ini.


Malam itu Shinya baru pulang dari pekerjaannya sebagai maskot taman bermain. Ia sempat membeli beberapa keperluan dapur untuk memasak makan malam dan obat pereda demam (akhir-akhir ini demamnya sering kambuh). Tetapi ketika ia berjalan di gang yang lumayan sempit dan gelap, tiba-tiba sekelompok orang yang ternyata adalah bawahan Hiiragi (Shinya hapal betul seragam mereka) mencegatnya. Tentu saja Shinya seketika itu juga melarikan diri sejauh mungkin dari mereka. Ia mengabaikan kondisi tubuhnya yang lemah pada saat itu, yang ada di otaknya hanya ada kata lari.

Di tengah jalan, si putih salju mendapati Yuuichirou yang tengah mengejarnya, dan dari atas gedung terdapat tentara Hiiragi yang sedang membidikkan sniper-nya ke arah Yuu. Tanpa pikir panjang Shinya berbalik arah untuk menyelamatkan anak itu kemudian lanjut berlari dengan Yuu yang ikut diseretnya. Tetapi kakinya menjadi mati rasa secara mendadak dan ia pun ambruk. Demamnya semakin parah. Seseorang yang seperti Yuu kemudian merengkuhnya yang perlahan tak sadarkan diri.

Hanya itu yang dapat Shinya ingat sejauh ini.

Bagaimana ya kondisi Yuu-chan sekarang?

Shinya tidak pernah menyangka jika efek yang ditimbulkan dari sinar matahari yang menyinarinya di taman dua hari yang lalu akan muncul malam itu. Dan ia tahu betul, kalau rasa sakitnya semakin parah seiring cahaya itu semakin lama bersentuhan dengan kulitnya.

Shinya memandang kedua lengannya, terdapat selang infus yang menancap di salah satunya.

Oh iya, dia harus mengecek tubuhnya barangkali ada yang terluka dan mengeluarkan darah. Shinya bertanya-tanya, apakah orang yang menolongnya itu juga selamat? Ia khawatir orang itu terkena darahnya dan terbakar, ia khawatir rahasianya akan terbongkar. Semoga saja tidak. Selain luka karena jarum infus di tangannya, Shinya tidak menemukan luka lain.

Kalau dipikir-pikir, sedari awal Hiiragi memang sudah mengetahui Virus Vampir yang ada dalam tubuhnya.

‘Ah... bodohnya aku.’

Maka Shinya pun memikirkan cara agar ia bisa melarikan diri dari tempat ini. Yang terpenting saat ini adalah bagaimana ia keluar tanpa membangunkan orang yang tertidur di sofa itu.

Pertama-tama, pemuda itu melepas jarum infus yang menancap di lengannya. Shinya sudah terbiasa melakukan ini pada tubuhnya ketika ia harus keluar-masuk laboratorium, baik milik Hiiragi maupun Sekte Hyakuya. Dan kegiatannya itu dilakukan tanpa suara, Sejauh ini semuanya berjalan lancar. Tak ada bekas darah yang tertinggal.

Setelah ia berhasil melepaskan infus itu dari tubuhnya, Shinya pun dengan perlahan menggeser pantatnya ke tepian ranjang hingga kedua kakinya menyentuh lantai yang dingin. Iris birunya selalu waspada mengawasi pemuda di sofa. Begitu Shinya mencoba untuk berdiri di atas kakinya...

BRUKK

Aish..!

Ternyata kakinya masih mati rasa. Shinya ingin menangis saja rasanya.

Apakah... ia tidak akan bisa berjalan lagi?

Uhm... Eh, kau sudah bangun rupanya, kenapa duduk di lantai begitu?”

Dan Shinya hanya bisa menatap horor ketika mendapati si prajurit berambut hitam terbangun dari tidurnya, lalu mendekat.


.

.

Owaranai Suffering
(Chapter 4, Shinya and Guren)

Karakter OnS (c) Kagami Takaya, Cerita (c) NysAeri

Shounen-Ai, Drama, Action, Sci-Fi (maybe)

Warning:
Cerita murni dari imajinasi saya dengan beberapa hasil imitasi dan EYD sebisanya, romansa Boys Love dengan bumbu straight di dalamnya, Ke-OOC-an mungkin dialami oleh para karakter (saya sudah peringatkan loh yaa).
.

.


Guren membuka matanya ketika suara benda jatuh terdengar tak jauh dari tempatnya berbaring. Iris violet itu sempat melirik pewaktu yang diambilnya dari kantong.

Pukul 9 malam.

Sudah empat jam rupanya ia berada di ruangan ini. Guren masih ingat kalau tujuannya datang ke rumah sakit di Shibuya adalah untuk memastikan keadaan orang yang ditemuinya bersama Yuu di jalanan kemarin malam. Guren bahkan sampai repot-repot mengatur ulang jadwalnya di kerajaan untuk semua ini. Bukan apa-apa, tetapi keponakannya, si Yuuichirou itu tidak mau pulang dari rumah sakit sejak awal dan sebagai saudara yang baik, maka Guren harus memantaunya secara langsung. Terhitung sudah seharian penuh Yuu berada di sini.

Ia tidak mau mengakui kalau sejujurnya pemuda itu juga mencemaskan Yuu. Lagipula, orang asing yang bersama Yuuichirou ini juga patut diwaspadai mengingat pertemuan pertama mereka saja sudah membuat nyawa Yuu dalam bahaya. Dan nama dari pemuda yang Yuu kejar itu adalah Shinya, sebuah keberuntungan juga sebenarnya kalau memang dia ternyata adalah saudara Mahiru.

Mengusap muka untuk menghilangkan rasa kantuk, Guren melangkahkan kakinya mendekati ranjang Shinya yang sudah tidak memiliki penghuni.

Di balik kaki ranjang, Guren menemukan pemuda bersurai putih tengah duduk bersimpuh sambil menundukkan kepalanya. Si surai hitam tentu penasaran dengan apa yang dilakukannya, maka ia pun bertanya.

Uhm... Eh, kau sudah bangun rupanya, kenapa duduk di lantai begitu?”

Surai putih yang sempat menunduk itu akhirnya mendongak, dan responnya ketika melihat Guren adalah wajah terkejut horor. Apa-apaan itu? Memangnya pemuda itu baru saja melihat hantu apa? Hantu tampan mungkin.

Iris birunya bergerak gelisah, mencoba menetralisir rasa gugup.

Uh... anu, tidak sedang apa-apa kok.”

“Kau pasti baru bangun dari pingsanmu dan mencoba untuk kabur, kan? Sayang sekali, tapi sepertinya kondisi tubuhmu tidak mengizinkan itu.”

Eh?

Guren adalah tipe orang yang lebih suka bertindak daripada bicara. Maka ketika melihat Shinya terduduk di lantai yang dingin itu, Guren berinisiatif untuk membantunya kembali ke tempat tidur pasien. Ia pun berjongkok mendekati si putih salju yang masih diam di tempatnya dengan mata biru yang menatap sang pangeran Ichinose waspada.

Ruang di antara mereka semakin menyempit, wajah Shinya dan miliknya hanya berjarak beberapa sentimeter, hangat napas pemuda susu di hadapannya bahkan sangat terasa di pipi Guren. Ia hendak menyentuh tubuh ringkih itu untuk sekadar membantunya berdiri. Namun niatnya itu tak terlaksana karena sedetik kemudian, Shinya segera menjauhkan diri dari jangkauan Guren dengan menggeser posisi duduknya.

Iris sewarna lautan melebar terkejut, Shinya bahkan seperti menciptakan dinding imajiner sebagai pertahanannya terhadap tindak-tanduk pemuda di depannya yang tak terduga.

“K-kau mau apa?!” Suara Shinya terdengar seperti cicitan anak burung.

Guren memutar bola matanya jengah. Ia benar-benar diperlakukan seperti hantu yang menakutkan.

“Membantumu kembali ke tempat tidur, apa lagi?”

A-ano saa... kau tidak perlu membantuku kok.”

Hah?

Eto... Kau tahu, tubuhku sangat sensitif terhadap orang yang tak dikenal... yah... jadi tidak usah hehehe.”

Guren menatap Shinya yang kini sedang tertawa canggung dengan matanya yang membentuk bulan sabit.

Hal yang selalu Guren lakukan ketika bertemu orang baru adalah, memperhatikan tingkah lakunya lalu mempelajarinya, maka ia dapat menyimpulkan karakter dari orang tersebut. Dan pemuda di depannya ini adalah tipe orang yang sepertinya mudah sekali memancing emosinya. Apa-apaan coba? Tubuh sensitif karena orang asing, yang benar saja?!

Tetapi Guren menjadi penasaran dengan anak ini. Lantas, ia bergerak maju ke depan, kembali mendekati Shinya.

“Kalau aku tidak membantumu berdiri, lalu kau akan terus duduk di lantai sepanjang hari, huh?”

“T-tidak, tetapi sungguh bahaya jika kau menyentuhku! Aku bisa berdiri sendiri.”

“Dengan kaki yang bahkan tidak bisa digerakkan?”

Shinya mengutuk kebodohannya sendiri. Orang ini benar-benar membuat dirinya seolah-olah mengecil dengan tatapan tajam bak elang hendak menerkam mangsanya. Padahal Shinya hanya khawatir kalau-kalau ada luka yang ia tidak ketahui lokasinya lalu darahnya mengenai tubuh pemuda itu jika dia menyentuhnya. Ia hanya tidak mau membunuh orang jika bukan karena alasan yang mendesak.

Suara ketukan pintu dari luar terdengar kemudian, menghentikan pergerakan Guren yang entah kenapa dari rasa penasarannya kini malah menjadi seperti menggoda si putih salju.

Pemuda Ichinose menengok ke arah pintu yang berbunyi, Shinya menghela napas lega.

Pintu itu terbuka, menampakkan seorang anak kecil berusia delapan tahun dan seorang pemuda tinggi berambut hitam dengan alis bercabang diikuti seorang gadis cantik berambut pirang dikuncir menyamping yang mengekor di belakang si pemuda. Mereka adalah Amanae Yuuichirou, Hiiragi Kureto, dan Sangu Aoi. Ketiganya langsung masuk dengan Yuu yang terlihat mengoceh dengan muka tertekuk sebal.

“Guren, Si paman Kureto ini mau bertemu denganmu katanya. Padahal tadi aku ingin membeli minuman tapi dia memaksaku untuk memberitahu di mana kamar rawat Shinya Onii-chan.”

Yuu mendapati Shinya dan Guren yang sedang terduduk di lantai, berhadap-hadapan.

YOKATTA*... SHINYA-NII AKHIRNYA BANGUN JUGA!!”

Bocah hiperaktif itu pun langsung berlari menerjang Shinya, memeluknya secara spontan sampai-sampai Shinya jatuh terbaring di atas lantai. Pemuda albino itu balas mengacak-acak puncak kepala Yuu.

Ahahaha, jangan mengagetkanku dong, Yuu-chan!”

Oi, bocah, kau membuat Shinya kesakitan. Dan kalian berdua, kenapa kalian duduk di lantai begitu?”

“.....”

Kureto dengan tampang congkaknya berjalan mendekati Shinya dan Yuu. Lelaki itu kemudian berjongkok, sekilas menyentuh salah satu kaki Shinya yang terlapisi celana panjang milik rumah sakit, lalu beralih menatap Yuu yang masih berada di pelukan si surai putih.

“Menyingkirlah dari Shinya.” perintahnya, mutlak.

Yuu sebenarnya kesal diperintah seenaknya oleh orang yang bahkan bukan siapa-siapanya. Diperintah Guren saja ia ogah, apalagi oleh orang beralis aneh ini. Cih, mentang-mentang anak raja jadi sok memerintah. Tapi ia mengerti sekarang bukan saat yang tepat untuk melawan. Maka bocah itu pun segera menyingkir dari pelukan Shinya.

Shinya bangkit duduk, hendak mencari pegangan untuk membantunya berdiri. Kaki ranjang mungkin akan memudahkannya. Namun ia tidak jadi merealisasikan keinginannya itu karena dengan cekatan, Kureto merengkuh Shinya, membawa tubuh yang ternyata sangat ringan itu untuk diangkat ala bridal, menempatkannya kembali ke atas ranjang pasien dengan lembut.

“Kureto-nii...” lirih Shinya, ia menatap sang kakak angkat dengan perasaan yang campur aduk.

Kureto balas menatap Shinya dengan senyum kemenangan, “Akhirnya aku menemukanmu, Shinya.”

Guren yang sedari tadi menyaksikan kejadian yang ada di depannya hanya bisa menampilkan ekspresi jengkel. Hal pertama yang menjadi perhatiannya adalah, kenapa Yuu dan Kureto boleh menyentuh Shinya sedangkan ia tidak? Seolah-olah tubuhnya itu berbahaya.

Sensitif terhadap orang asing? Iya, Guren memang orang asing, mereka baru berbicara beberapa menit yang lalu dan Guren yakin si Shinya itu tidak tahu namanya. Tapi kenapa Yuu yang juga baru beberapa kali bertemu si surai putih itu bahkan memeluknya? Dan apa-apaan si Kureto yang bertingkah seperti aktor drama sabun murahan begitu, menjijikan.

Putera semata wayang Ichinose itu lalu bangkit berdiri, menepuk pakaiannya yang terkena setitik debu. Menanyakan hal yang sebenarnya sudah diketahui jawabannya.

“Jadi, apa tujuan pangeran sulung Hiiragi sampai repot-repot mengunjungi rumah sakit Mikado no Tsuki yang bobrok ini?”

Kureto menoleh memandang Guren dengan tatapan sombong, seraya tertawa keras.

Hahahaha ternyata putera tuan Ichinose Sakae ini tahu diri juga, ya. Aku sangat menyukai orang-orang yang mengerti akan status dan batasannya.”

Cih.

“Tunggu, putera tuan Ichinose? Maksud Kureto-nii, orang ini adalah Ichinose Guren?!!”

Shinya yang dihadapkan pada fakta yang mengejutkan hanya bisa menunjuk-nunjuk Guren dan menatapnya dengan tatapan tidak percaya, ekspresinya seolah mengatakan, ‘Kau tidak sedang mabuk, kan Onii-san?

Untuk pertama kalinya di ruangan itu, Kureto memanggil Sangu Aoi.

“Aoi, bawa bocah itu keluar.”

Ha’i!”

Yang dimaksud adalah Yuuichirou. Satu-satunya gadis yang ada di ruangan tersebut kemudian menyeret bocah Amane, membawanya keluar. Sempat ada penolakan dari Yuu tetapi tatapan tajam Guren dan ekspresi memohon Shinya yang akhirnya melunakkan anak keras kepala itu.

.
.

“Jadi orang yang ada di depanku ini benar Ichinose Guren, orang yang Mahiru kejar-kejar itu?”

Setelah memastikan kalau hanya mereka bertiga yang ada di ruangan ini, Shinya kembali menunjuk Guren tanpa menurunkan ekspresi ketidakpercayaannya, menanyakan hal yang sama dengan kalimat yang berbeda.

Sedangkan Guren kembali membatin, ternyata si Shinya ini tidak benar-benar tidak mengenalnya, bahkan sampai tahu hubungannya dengan Mahiru segala. Hey, apakah hanya Guren di sini yang tidak mengetahui apa pun dan merasa menjadi orang yang paling bodoh?

Sementara itu, Kureto menghela napas, menanggapi perkataan Shinya.

“Bukankah itu sudah jelas? Kau bisa melihat tampangnya yang sama-sama terlihat membangkang seperti ayahnya.”

Ahahaha, kau jahat sekali Nii-san.”

Guren hanya terdiam mendengar ocehan mereka yang terdengar sangat menjengkelkan. Tanpa dikonfirmasi pun ia sudah tahu kalau pemuda yang terduduk di atas ranjang pasien ini adalah bagian dari Hiiragi, mereka sama-sama membuatnya jengkel.

Shinya menghapus setitik air mata yang muncul di ujung kelopaknya karena sibuk tertawa.

“Tapi serius loh, aku memang sangat ingin bertemu denganmu, Guren... boleh kupanggil seperti itu? Kau juga bisa memanggilku Shinya kok.”

Si surai salju menatap Guren dengan mata birunya, tersenyum lembut. Seolah-olah ekspresi ketakutan yang pernah ia tunjukan kepada Guren beberapa menit yang lalu tak pernah terjadi.

Cih, jangan sok akrab.”

Ahahaha.”

Tidak tahu saja si Guren itu kalau sebenarnya sudah ada 1001 rencana yang muncul di kepala Shinya agar pemuda bersurai hitam acak-acakan itu mau membantunya bekerja sama demi mewujudkan tujuannya untuk membawa Mahiru bersamanya.

Guren mengabaikan tawa merdu Shinya yang sekaligus terdengar menyebalkan di telinganya, lalu menghadap ke Kureto yang sempat terdiam, memasang raut serius.

“Kembali ke pertanyaan pertama, apa kepentinganmu datang ke rumah sakit ini, Kureto?”

“Apakah aku perlu menjawabnya? Kau tahu salah satu keluargaku ada di sini, jadi aku ingin membawanya pulang ke kerajaan.”

Mendengar ujaran Kureto, Shinya langsung menggeleng kuat, menolak mentah-mentah keinginan kakak angkatnya tersebut.

“TIDAK! Aku menolak ajakanmu, Kureto-nii. Nee, Guren, tolong aku~ orang ini galak sekali, aku pasti akan dicincang kalau sampai kembali ke kerajaan...”

Pemuda albino itu merengek seperti anak kecil, bahkan sampai berani menyentuh lengan pakaian Guren. Melupakan apa yang pernah diucapkannya untuk tidak bersentuhan dengan orang asing.

Guren menotisnya, tentu saja. Yah, walaupun ini hanya sekadar sentuhan tidak langsung, tetapi hal itu membuktikan kalau omongan Shinya semuanya penuh dengan kebohongan. Anak ini tidak patut untuk dipercayai.

“Diamlah, Shinya. Kau tidak pantas untuk berbicara di sini.”

“Apa-apaan itu, tentu saja aku punya hak untuk berbicara juga. Bagaimanapun aku yang menjadi korban.”

Guren tidak mengerti, Kureto dan Shinya terlihat seperti saudara yang cukup akrab. Sekilas percakapan mereka memang membahas hal serius, tetapi Guren melihatnya hanya seperti pertengkaran kakak-beradik yang keduanya enggan mengalah, sangat main-main dan kekanakan. Jadi apa yang sebaiknya ia lakukan?

“Bagaimana kalau aku menolak memberikan anak ini kepadamu?”

Hah?

“Apa maksudmu? Kemarin aku mengembalikan keponakanmu, tapi kenapa aku tidak boleh membawa adikku?”

“Tentu saja itu berbeda, Yuu tidak ada hubungannya dengan perseteruan kerajaan, tetapi adikmu ada.”

“Jangan sok tahu.”

“Aku sudah bertemu dengan Mahiru.”

“Apa?”

Kali ini Shinya dan Kureto sama-sama terperangah, menatap Guren.

“Aku sebenarnya tidak mempercayai adikmu, tetapi aku juga tidak mempercayaimu kalau aku serahkan dia kepadamu. Ketika aku bertemu dengannya, pasukanmu sedang mencoba mencelakainya dan Yuu bahkan hampir ditembak oleh salah satu prajuritmu.”

Tunggu, Guren bukan bagian dari Mikado no Oni? Jadi waktu itu dia mengejar Shinya adalah untuk... dan orang yang telah menolongnya ketika demam adalah Guren?

Shinya ingin menyela percakapan antara Kureto dan Guren tetapi ini bukanlah saat yang tepat. Jadi pemuda itu memilih untuk menutup mulut sementara ini.

“Jadi kau sudah mengetahui kondisi Mahiru rupanya, lagipula aku yakin kalau Mahiru akan bahagia jika dia bisa melihat Shinya lagi di istana.”

“Apa yang sebenarnya telah tejadi dengan Mahiru, dan apa hubungannya anak ini dengan semuanya?”

Nah, kau sendiri sebaiknya tidak perlu tahu.”

“Maka aku tidak akan menyerahkannya dan akan mencari tahu sendiri.”

Guren membulatkan tekadnya, kali ini ia harus bertindak untuk membongkar semua kebusukan yang telah dilakukan oleh Mikado no Oni bahkan Sekte Hyakuya selama berabad-abad. Ia tidak mau kerajaannya terus menjadi pihak yang dibodohi dan selalu berada di bawah dari mereka. Ia ingin mewujudkan perdamaian yang sebenarnya untuk Jepang bagaimanapun caranya, setidaknya ia ingin ayahnya tersenyum di surga melihat keberhasilannya memimpin Mikado no Tsuki.

Guren juga tidak melupakan janjinya pada Mahiru, tetapi bukan sekarang ia menyerahkan Shinya pada gadis itu. Ia ingin tahu kebenarannya dahulu. Guren tidaklah bodoh, ia hanya akan menyerahkan Shinya jika itu memang benar-benar keputusan yang tepat.

Di sisi lain, Kureto kembali menghela napas, ini akan menjadi sulit.

“Kau harus mendengar keputusan Shinya terlebih dahulu.”

“Apa itu? Bukankah tadi aku tidak boleh bicara?”

Akhirnya kesempatan Shinya untuk menyahut. Kureto menatapnya tajam, tetapi Shinya tidak takut terhadap tatapan itu, ia mengabaikannya.

Yah.. bukankah Kureto-nii sudah tahu keinginanku sejak awal? Aku tidak mau kembali ke kerajaan itu.”

“Keputusan yang sangat tidak tepat untuk kalian berdua.”

“......”

“Bukankah sudah tidak ada yang dibicarakan lagi, jadi untuk apa berlama-lama di sini?”

“Tidak, tunggu...”

Kali ini putera sulung Hiiragi itu melunak, ia menatap Shinya lembut seperti seorang kakak pada umumnya.

“Aku ingin bicara empat mata dengan Shinya.”

Guren tidak sejahat itu untuk melarang Kureto berbicara dengan Shinya, maka si surai arang itu pun mengangguk sekilas sebelum akhirnya melangkah keluar ruangan untuk membiarkan mereka berdua mengobrol.

Pintu tertutup sepenuhnya. Hening, hanya ada hembusan lembut napas Shinya dan Kureto yang ada dalam ruangan itu.

“Jadi ada yang perlu dibicarakan lagi, Kureto Onii-san?” Shinya menampilkan senyuman yang biasa ia tunjukkan kepada Kureto sejak kecil. Senyuman yang menyadarkan Kureto betapa ia sangat beruntung menjadi seorang kakak yang mempunyai adik semanis ini.

“Tentu ada...” Kureto kembali pada raut seriusnya, tapi kali ini lebih bersahabat. “Sebagai tangan kanan Mikado no Oni, dan sebagai kakak yang mencemaskan adiknya, mungkin?”

“Sudah lama sekali ya, Kureto-nii?” Shinya menundukkan kepalanya, memandangi warna kain sprei yang dipakainya.

“Virus Vampir, aku ingin melihatnya.”

Tertegun,

Shinya tidak menyangka hal yang pertama kali Kureto bicarakan adalah soal virus mengerikan itu. Tetapi toh, Shinya tidak menolak untuk memperlihatkannya kepada Kureto, tidak ada gunanya jika ia menolak.

Maka pemuda susu itu pun mulai melepas satu persatu kancing yang menutup pakaiannya, lalu menanggalkan kain tipis itu. Kini tubuh bagian atas Shinya terpampang sepenuhnya di hadapan Kureto, postur tubuh yang tidak terlalu berisi dengan kulit putih bersih dan halus. Tetapi bukan itu fokus utama si sulung, ia memperhatikan tanda seperti tato yang menempel di bawah tengkuk Shinya, menyentuhnya.

“Sudah berapa lama kau terkena sinar matahari?”

“Bagaimana Nii-san bisa tahu aku sudah terkena-?”

“Tanda ini hanya akan terlihat jika efek sinar matahari sedang bereaksi. Dan juga, Shinya yang dulu tidaklah selemah ini. Dia adalah senjata andalan Hiiragi yang bahkan mampu membunuh enam puluh prajurit Ichinose pengkhianat dengan pergerakannya yang lincah, bukan Shinya yang pesakitan seperti ini.”

Iris biru itu meredup.

“Ya, dan aku juga berkhianat pada Hiiragi.”

“Dan itu adalah satu-satunya tindakan paling bodoh yang dilakukan olehmu.”

“Tapi aku tidak menyesalinya.”

Kureto terdiam sesaat, pemuda itu mengusap tengkuk sang adik dengan lembut. Jari-jarinya menyusuri tanda luka yang dihasilkan oleh Virus Vampir, yang merambat hingga pinggang Shinya.

Jika dilihat dari panjangnya tanda ini, pasti adiknya itu sudah lebih dari 10 hari terkena sinar matahari, dan virusnya pasti telah berkembang menghancurkan organ dalam Shinya perlahan-lahan, hingga akhirnya tubuh ringkih ini dikuasai virus sepenuhnya.

Hiiragi Shinya & Virus Vampir (Editan maksa :v)


“Aku rasa kau sudah mengetahui semua yang terjadi antara Mikado no Oni, Sekte Hyakuya, ibumu, Mahiru dan tujuanmu lahir ke dunia ini berkat Ichinose Sakae.”

“Menyedihkan bukan, mengetahui bahwa aku dan ibuku hanya dijadikan korban dari hasrat bodoh kerajaan.”

“Aku tidak sepenuhnya menyalahkanmu atas pemberontakanmu, aku tahu kau sangat menderita. Tapi apakah kau tidak mau kembali ke kerajaan? Kau tahu, Mahiru membutuhkanmu dan atas nama Hiiragi Kureto, aku berjanji kerajaan akan bersikap lembut padamu.”

Pandangan Shinya terfokus pada jendela kamar yang gordennya tersibak karena angin. Langit tampak menghitam, gelap. Ia tidak tahu kalau pingsannya akan berlangsung selama ini, udara dingin pasti sangat terasa di luar sana.

“Lalu, apakah aku akan menjadi kelinci percobaan lagi jika aku kembali, Kureto Onii-san?

Iris biru itu kembali memusatkan perhatiannya pada si sulung. Kebetulan, yang mempunyai iris sewarna tembaga juga sedang menatapnya.

“Jika formula baru dapat dikembangkan dengan bantuanmu dan Mahiru, aku yakin kalian berdua bahkan bisa kuselamatkan. Kalian akan terbebas dari virus mematikan ini dan tetap hidup.”

Shinya tertawa mengejek,

“Mana mungkin ada hal seperti itu, Kureto-nii? Kalaupun aku dan Mahiru bisa diselamatkan, pihak kerajaan tidak akan semudah itu menghentikan percobaan Virus Vampir. Lalu apa? Kau akan mengorbankan orang lain lagi sebagai pengganti? Semua ini tidak akan pernah selesai.”

“Lantas, apa rencanamu, Shinya? Akankah kau juga memanfaatkan Guren sebagai bidakmu?”

“Ini tidak bisa dibilang memanfaatkan Guren... Kami berdua menyayangi Mahiru, aku hanya ingin mengajaknya bekerja sama untuk menyelamatkan orang yang sama-sama penting bagi kami. Selama kedua kerajaan belum mendapatkan inang Virus Vampir yang lain, kami akan membawa Mahiru keluar dari sangkar Hiiragi, walaupun itu artinya Guren harus menderita setelahnya.”

“Dan walaupun Mahiru tidak menginginkannya?”

“Aku yakin dia akan mengerti pada akhirnya.”

Kureto pun memutuskan kontak mata itu. Ia tahu, Shinya telah sangat bersungguh-sungguh akan tekadnya tersebut walaupun itu artinya ia harus mengorbankan nyawanya sendiri. Setidaknya bocah albino ini sudah mampu menentukan jalan hidupnya sendiri, ia tidak lagi menjadi Shinya si anjing peliharaan Hiiragi, atau malaikat kecil pembantai para pengkhianat kerajaan.

Oyaa, apa ini? Adik angkatnya sudah tumbuh menjadi dewasa, si cengeng yang selalu merengek kehilangan ibunya dengan mata biru yang berkaca-kaca itu kini menjadi pemuda manis dengan mata biru yang berbinar penuh dengan tekad. Kureto merasa gemas.

“Ashera-san.”

“Eh?”

“Walaupun kau menolak pulang bersamaku, tapi setidaknya izinkan aku mengirim Ashera-san, perawat kepercayaanmu untuk memastikan keadaanmu. Bukankah dia salah satu orang yang mengerti Virus Vampir? Ini yang ingin kusampaikan sebagai seorang kakak angkat.”

“Terima kasih.” Shinya tersenyum, kali ini senyuman yang tampak tulus.

Sang komandan Mikado no Oni itu pun membantu Shinya memakai kembali pakaian rumah sakitnya. Ia harap, pemuda Ichinose yang ada di luar sana tidak pernah mengetahui Virus Vampir yang ada di tubuh Shinya. Kureto pun tidak menyerah untuk mendapatkan Shinya kembali ke tangannya.

“Mungkin hari ini aku tidak berhasil, tetapi suatu hari nanti, kau akan berada dalam genggamanku, Shinya.”

“Maka aku akan sangat menderita loh, Kureto Onii-san. Apa kau bisa setega itu terhadapku?”

Hahahaha kita lihat saja nanti.”


.
\(O3O)/
.


3 hari kemudian...

Pagi itu Shibuya tengah dilanda hujan deras, awan kelabu menggantung di langit, menutupi sinar matahari yang seharusnya menghangatkan setiap manusia yang beraktivitas di luar ruangan. Begitupun Guren, sedari tadi pemuda itu hanya bisa menggerutu, merutuki ramalan cuaca yang ternyata meleset parah. Katanya hari ini cuacanya akan cerah dipenuhi dengan matahari, tetapi ternyata sebaliknya. Dan lagi, hari ini ia harus mengantar orang yang akan menjadi penghuni baru apartemennya itu dari rumah sakit. Seharusnya Guren sedang asyik tiduran di kasurnya yang hangat.

Shinya -calon penghuni baru apartemen- terus mengekor di belakang Guren, lengkap dengan pakaian serba tertutupnya. Mantel cokelat tebal dengan tudung kepala yang pinggirannya terdapat bulu-bulu halus berwarna putih. Kaki jenjangnya dilapisi celana bahan berwarna hitam, tangan kanannya memegang sebuah payung transparan. Syukurlah hari ini hujan, setidaknya matahari tidak membatasinya untuk bergerak di luar ruangan.

Sesekali ia menggosok kedua telapak tangannya, lalu meniup telapak dingin itu demi memberikan sedikit kehangatan. Tak dipungkiri, suhu udara hari ini memang terasa dingin. Shinya memperhatikan Guren yang berjalan di depannya, tak mengatakan sepatah kata pun kepadanya semenjak pemuda itu datang ke kamarnya lalu memberesi beberapa barang pribadi, hingga akhirnya mereka berdua berjalan menuju area parkir sekarang ini. Shinya tahu kalau hari ini jadwalnya pulang pun karena diberitahu oleh salah satu pelayan Guren yang datang kemarin, kalau tidak salah namanya Sayuri.

Oh iya, Shinya ingat kalau Sayuri pernah bercerita kepadanya bahwa klan Ichinose sudah lama berpisah dari Mikado no Oni dan membangun kerajaannya sendiri, Mikado no Tsuki. Wanita itu juga dengan bangga mengatakan kalau Guren lah yang saat ini memimpin kerajaan. Berarti pemuda di depannya ini bukan hanya sekadar putera kerajaan, tetapi seorang raja sungguhan.

Tapi kenapa ya, kok tidak ada pengawal yang menjaganya? Sejak kemarin pun ia melakukan segala hal seorang diri. Yah, meskipun ada beberapa yang dibantu oleh kedua pelayannya. Namun hal yang berkaitan dengan Shinya, semuanya dilakukan oleh Guren. Mulai dari menunggunya hingga siuman, mengawasinya, bahkan menjemputnya pulang. Securiga itukah Guren terhadap Shinya? Padahal si albino itu ingin mengajaknya bekerja sama, kalau ia saja belum bisa mendapat kepercayaan dari Guren, bagaimana mungkin si Ichinose itu mau diajak bekerja sama dengannya?

Hei, Guren?”

Shinya yang lebih dulu menyapa, mencoba mengakrabkan diri dengan Guren.

Panggilan si putih tentunya membuat langkah Guren terhenti di tengah jalan yang basah karena air hujan, pemuda itu berbalik. Suara bising yang ditimbulkan dari jutaan tetes air yang turun dari langit seolah menjadi latar suara yang menemani mereka berdua.

Shinya tersenyum lembut.

“Terima kasih untuk semuanya... pertolonganmu, rumah sakit, dan tempat tinggal. Aku rasa ucapan terima kasih saja kurang pantas untuk membalas semua itu jadi...”

Menatap Shinya datar, lantas Guren menyela.

“Jangan merasa senang dulu, ini semua aku lakukan untuk Yuu. Dan kata siapa aku memberikan semuanya secara gratis?”

Eh?

“Kau saat ini adalah tawanan Mikado no Tsuki.”

Haaah, apa nanti aku akan diinterogasi? Oh ayolah, Guren. Daripada menjadikanku tawanan kerajaan, bagaimana kalau kita bekerja sama saja sebagai partner, bukankah saat ini kau sedang ingin menyelamatkan Mahiru dari klan Hiiragi?”

“Kau tahu?”

“Tentu saja, aku adalah keluarganya dan aku juga ingin menyelamatkan Mahiru.”

“.......”

Nee, Guren. Kau cukup berikan aku pistol atau senjata api lainnya, aku adalah sniper yang handal, kau tahu? Aku akan membantumu mewujudkan keinginanmu itu...”

Mendengar si iris langit yang terus mengoceh di depannya membuat Guren mendecak, lantas pria itu maju mendekati posisi Shinya berdiri saat ini.

Tap tap tap, 

Payung milik Shinya terdorong ke belakang oleh payung milik Guren yang kini juga memayungi kepala Shinya. Putera angkat Hiiragi itu perlahan melangkah mundur karena jarak pemuda yang ada di hadapannya sedikit demi sedikit terhapus.

“G-Guren?”

“Kau adalah orang asing.” Desis Guren kemudian.

Iris biru berusaha mencari ketegaran karena ditatap sedemikian intens oleh iris ungu yang seolah sedang melucuti keberaniannya.

Tatapan itu memiliki seribu rahasia.

“K-kalau begitu, aku akan memperkenalkan diri, namaku Hiiragi Shinya. Aku adalah anak angkat dari Hiiragi Tenri. S-saat ini aku tidak memihak kerajaan manapun, jadi... mari kita berteman?”

Dua langkah kian mendekat, dua langkah mencoba menjauh.

“B-bagaimana? Aku bukan orang asing lagi, kan? Kau bisa bekerja sama denganku sekarang.”

Guren tetap dengan langkah maju dan tatapan intensnya pun berhasil mengalahkan pertahanan Shinya. Guren berhenti, payung bening si surai putih jatuh. Dua pemuda itu berbagi satu payung milik pemuda Ichinose.

“Tetap saja, aku tidak mempercayaimu.”

Shinya bisa merasakan napas Guren yang hangat menyentuh pipinya dan membuat rona pink tercetak di sana.

Ini... terlalu dekat.

“.......”

“Tapi aku mungkin bisa menjadikanmu bawahanku.”

Seringaian menakutkan terangkat di bibir Guren setelahnya. Pemuda itu tidak menyangka, membuat Shinya gugup akan memberikan efek semenyenangkan ini. Bocah itu terlalu mudah digoda dan ya, ia sangat sensitif apabila Guren mendekatinya. Mungkin Guren akan memanfaatkan kelemahan ini untuk mengendalikan Shinya.

Sementara itu, Shinya hanya bisa diam mematung di tempatnya berdiri saat ini. 
Under the Rain



“Ambil payungmu, hujannya semakin deras. Aku tidak mau direpotkan kalau kau sampai sakit lagi.”

H-ha’i!

Dengan begitu, Guren kembali melanjutkan langkahnya menuju tempat parkir. Sementara itu Shinya yang terbebas dari momen yang terasa menyesakkan baginya pun segera mengambil payung yang tergeletak di tanah, bagian dalamnya ikut basah karena sempat terpapar air hujan.

Si mantel cokelat baru akan mengambil langkah pertamanya namun suara langkah kaki lain yang terdengar dari arah belakang membuatnya menoleh.

Seketika itu juga, kedua mata Shinya membola.

Yo, Tiger-chan. Long time no see.”

“Saito!”

Zraaaashhh

Suara air hujan bercampur dengan suara ayunan pedang yang membelah udara, menargetkan Shinya.

Si surai putih bergerak cepat mundur ke belakang, payung transparan tergeletak di tanah, kali ini bukan miliknya. Di hadapan Shinya sudah berdiri Guren dengan pedang yang entah sejak kapan sudah berada dalam genggamannya. Area sekitar tempat parkir itu kini dipenuhi orang-orang berpakaian hitam, para prajurit Sekte Hyakuya.

“Mau apa kau ke sini?”

Guren menatap Saito tajam, pedangnya berkilat menodong wajah Saito.

“Hanya sekedar menyapa Shinya-chan.”

“........”

Araa, tak kusangka kekhawatiranku terhadap tuan muda Ichinose terjadi secepat ini, padahal Shinya-chan sedikit lagi bisa kudapatkan.”

Saito, dengan senyuman poker yang selalu tersungging di wajahnya mencoba menyingkirkan pedang milik Guren dengan miliknya.

“Apa maksudmu?”

Iie, ini top secret antara Mikado no Oni dan Sekte Hyakuya, kerajaan yang dipimpin anak kecil tidak perlu tahu...” Saito menaruh jari telunjuknya di bibir.

“...Tapi kau bisa tanya para Hiiragi itu kalau penasaran, hahaha.”

“Sialan kau, Saito!”

Guren melangkah maju hendak beradu pedang dengan Saito, tetapi pria berambut klimis itu terus menghindari serangan pedangnya. Lantas dengan santai ia memberikan perintah kepada bawahannya.

“Wahai prajurit ku, aku akan sibuk melawan tuan muda Ichinose ini, jadi ku serahkan Shinya-chan pada kalian, ya? Satu atau dua luka aku perbolehkan asal jangan membunuhnya.”

Setelah berujar hal tersebut Saito akhirnya membalas serangan Guren dengan pedang miliknya. Pertarungan antara benda tajam itu pun dimulai. Gerakan Saito dua kali lebih cepat dibandingkan Guren, ditambah fokus si iris violet terbagi karena Shinya yang ada di belakangnya pun sedang diserang oleh puluhan prajurit hanya dengan sebuah payung yang ada dalam genggamannya.

Guren ingin sekali menolong Shinya tetapi pria yang sedang dihadapinya ini terus melontarkan serangan, seolah menghalangi Guren untuk membantu Shinya.

Salah satu prajurit Hyakuya menodongkan pistolnya, hendak menembak Shinya dari dekat.

“Shinya!”

DORRR

Tetapi dengan cekatan si surai putih menghindari tembakan itu, kaki jenjangnya terayun menendang kuat kaki musuh yang memegangi pistolnya. Musuh pun terjatuh, Shinya segera mengambil alih senjata api tersebut dan mulai menembaki musuh lainnya.

“Jangan khawatirkan aku, Guren. Aku baik-baik saja.”

Sempat-sempatnya Shinya memberikan senyuman manisnya pada Guren.

“Fokus ke depan, nak. Lawanmu ada di sini. Kau tidak boleh lengah hanya karena partner-mu bertingkah manis. Dan ya, Shinya itu kuat, kau tidak usah terlalu mengkhawatirkannya.”

Saito kembali melontarkan serangan pada Guren, ia mengayunkan pedangnya mencoba melukai pemuda Ichinose.

Klaaang klaaang Zraaaashhh

Kedua pedang terus beradu tanpa ada yang mengalah sedikit pun. Hujan turun semakin deras seiring pertarungan yang terjadi antara Guren dan Saito. Perlahan tapi pasti, penerus klan Ichinose itu dapat mengimbangi pola serangan pedang yang Saito lakukan, malah lebih unggul. Pemimpin Sekte Hyakuya terdesak.

Wah wah wah, kau pengguna katana yang hebat, ya? Aku saja sampai terpojok begini... yah, lagipula aku juga tidak terlalu ahli memakai pedang sih, aku lebih suka menggunakan senjata hasil eksperimenku.”

“Jangan banyak bicara kau, Saito!”

Hei, kenapa terburu-buru sekali?”

Pedang Guren mengincar jari-jari Saito yang sedang memegang pedangnya.

Klaaang klaaang

Ahh!

“Shinya!!”

Berbeda dengan Guren, karena Shinya harus melawan puluhan prajurit yang seperti tak ada habisnya itu, akhirnya ia pun kewalahan juga. Lelaki itu sempat terjatuh karena serangan musuh.

Shinya dalam bahaya!

Guren menggertakkan giginya marah. Gerakan pedangnya melawan Saito semakin cepat, tidak membiarkan sang lawan memiliki celah untuk menyerang.

Klaaang zraaashh

Dengan sekali ayunan keras, akhirnya pedang milik saito pun terjatuh. Tidak hanya sampai di situ, Guren menusuk perut Saito tanpa ragu.

Sang pemimpin Hyakuya tersungkur di tanah. Darah mengalir dari pakaian hitam yang dikenakan pria klimis itu, yang lainnya pun ikut mengotori pedang Guren.

Setelah memastikan kalau Saito tidak mampu berdiri dan melawannya, Guren segera berlari menuju tempat Shinya. Pemuda Hiiragi itu sedang terjebak di antara kerumunan prajurit Hyakuya di sekelilingnya.

Seperti saat melawan Saito tadi, dengan gerakan cepat, Guren menumbangkan satu persatu prajurit Sekte Hyakuya hingga tidak ada yang tersisa.

Habis.

Semuanya dibantai oleh Guren.

Di kejauhan, Saito yang berusaha berdiri dengan dibantu bawahannya tertawa keras seolah baru saja menonton film kesukaannya dan mendengar bahwa drama dari film tersebut akan segera tayang sebagai kelanjutannya.

“Ya ampun, ternyata putera semata wayang Sakae tidak boleh diremehkan ya? Bahkan ia tidak segan menusuk pemimpin klan lain demi mempertahankan harta karunnya.”

“........”

Guren hanya terdiam membiarkan Saito mengoceh sesuka hatinya.

“Tapi keputusanmu untuk membawa Shinya bersamamu adalah tindakan yang salah loh. Karena pilihanmu itu, maka peperangan antar kerajaan pun sepenuhnya dimulai. Kau tahu? Selalu ada kutukan menyedihkan yang menyertai setiap harta karun yang indah, dan jangan sampai kau menyesalinya di kemudian hari.”

Setelah mengatakan kalimatnya tersebut, Saito pun pergi bersama para prajuritnya yang tersisa. Mereka menjauh dengan langkah kaki yang teredam oleh suara hujan.

Guren melangkah mendekati Shinya yang saat ini tengah terbaring di atas tanah yang basah. Tetesan-tetesan hujan membasahi wajah si putih salju yang terdapat beberapa luka lecet, iris biru bersembunyi di balik kelopak matanya.

Pemuda Ichinose tepat berada di hadapannya, berdiri menjulang.

Nee, Guren?”

Guren telah membiarkan Shinya bersamanya,

Kelopak mata itu masih terpejam, membuat iris lain yang berwarna violet harus bersabar agar dapat melihat iris biru yang tersembunyi di baliknya.

“Apa aku belum mengatakan hal ini padamu?”

Karena pilihan Guren tersebut, kedamaian yang ada di Jepang pun sepenuhnya berakhir, peperangan sudah menanti di depan sana.

“Selama aku masih bernapas di sampingmu...”

Selalu ada kutukan menyedihkan yang menyertai setiap harta karun yang berharga.

Shinya membuka kedua matanya, iris sebiru langit musim panas entah kenapa saat ini terlihat berkilauan di mata Guren.

“Kau mungkin akan selalu berada dalam bahaya.”

Semoga kau tidak menyesalinya di kemudian hari, Guren.

Shinya and Guren


.
.
// Chapter 4, Shinya and Guren //
.
.

Gomen karena update-nya agak telat. (/.\)

Biasanya Nys akan langsung unggah chapter terbaru kalau misalnya Nys udah buat episode berikutnya lagi, seenggaknya udah dapat setengah episode lah. Tetapi kemarin itu memang lagi stuck. Ide mah udah ada, Nys udah mengkonsep keseluruhan plot Owaranai Suffering tetapi yang jadi masalah itu bagaimana caranya biar konsep itu mengalir menjadi tulisan dan tidak melenceng. Biasa lah, problem author newbie. :v

Nah kabar baiknya, words pada episode kali ini lebih banyak, sekitar 6K. Ini adalah hadiah buat kesabaran para readers sekalian. :)

Dan beberapa ilustrasi di atas adalah hasil editan ala kadarnya dari Nys.

Review kalian masih Nys tunggu. Yuk, jangan sungkan. Ini adalah penyemangat Nys buat nulis. Biar Nys juga tahu rasa penasaran kalian terhadap cerita ini, kritik dan saran juga boleh.

Nah , sekian dulu cuap-cuapnya. Sampai ketemu di chapter depan. Jaa ne~!

Lanjut baca omake di bawah ini....
.
.
“Hei Guren, kita ada di mana? Ini... bukan tempat tinggalmu, kan?”

Setelah bertarung melawan Saito beserta pasukannya, Guren dan Shinya pun lekas pergi dari tempat parkir itu menuju jalan pulang, mencegah serangan-serangan lainnya yang mungkin saja akan datang kalau mereka tetap berada di sana.

Namun ternyata arah tujuan Guren bukanlah apartemen Ichinose, melainkan sebuah bangunan kumuh yang menjulang tinggi sendirian di tengah hutan, di dalamnya terdapat banyak sekali ruangan yang dipisahkan dengan sekat. Itu adalah sel tahanan, mereka sedang berada di penjara milik Mikado no Tsuki.

Guren dan Shinya berjalan di sekitar lorong sel. Penjara tersebut tidak memiliki banyak penghuni. Merasa ada yang aneh dari gelagat pemuda yang berjalan di depannya, si surai putih menghentikan langkahnya. Hal itu membuat Guren ikut berhenti, berbalik menghadap Shinya dengan wajah datar.

“Jangan-jangan...”

Shinya menoleh patah-patah menatap Guren, pemuda itu memasang wajah harap-harap cemas bahwa kemungkinan terburuk yang ada di kepalanya tidak menjadi kenyataan.

“Sudah kubilang kalau kau adalah tawanan Mikado no Tsuki, kan? Satu atau dua interogasi mungkin akan menghasilkan beberapa informasi.”

O-oi jangan seenaknya?!”

Lalu dari arah kanan, kiri, belakang Shinya munculah tiga prajurit Mikado no Tsuki yang dengan sigap menahan pergerakan Shinya, mencegah pemuda itu berontak. Ia tak bisa melawan para prajurit itu karena tenaganya sudah terkuras akibat pertarungan tadi, dan juga pakaiannya yang basah terasa berkali-kali lipat lebih berat di tubuhnya.

“Aku akan kembali besok, ku harap kalian bisa mengurusinya dengan baik. Jangan melukainya terlalu keras, lebih tekankan pada penyiksaan psikis-”

“Kau pikir akan bisa membuatku berbicara dengan interogasi ini? Hei, Guren. Kalau aku mau, kau tidak perlu melakukan semua ini!”

“Tolong tangani dia untukku, sensei.”

Oi Guren, dengarkan aku! Guren!”

.
.
.

Comments

  1. KEREN BGT FANARTNYAAA!!! selalu suka sama ceritanya, di tambah ada fanart jadi makin kebayang uwowww <333

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

List Rekomendasi Anime Yaoi, Shounen Ai, BL 2021

List Anime Yaoi, Shounen Ai-BL 2020